Pendahuluan
v Pengertian
mazhab tafsir modern
Pengertian modern biasanya dikaitkan dengan zaman yang
berlangsung sekarang. Istilah modern ini seringkali dipakai untuk menunjukkan
periode yang tengah kita jalani sekarang, bukan periode yang telah berlalu. Dalam
konteks perkembangan tafsir , istilah masa modern terkait dengan situasi dan
kondisi tafsir pada saat ini. Dengan demkian, ia dibedakan dengan masa
kontemporer. Meski demikian, erkembangan tafsir masa modern sangat tidak bisa
dilepaskan dengan perkembangannya di masa kontemporer. Setidaknya,
gagasan-gagasan yang berkembang pada
masa modern ini udah bermula sejak zaman kontemporer, yakni pada masa
Muhammad Abduh dan Rastid Rida. Hanya saja secara substansial, terdapat banyak
perbedaan antara masa kedua mufassir ni dengan perkembangan tafsir yang terjadi
saat ini.
v Latar
belakang
Abad ke-19 dunia Islam
mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara
muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul
seorang pemimpin Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk
membangkitkan muslimin. Muridnya yang pertam yang mengikuti jejaknya ialah
Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan
pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern,
dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,
kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.[1]
Maka
dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian khusus
kepada segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah,bahasa,
dll. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an
sebagai kitab hidayah dengan cara
yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi,
yaitu member peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir yang bermanfaat
bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia
adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia
cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
Corak ataupun model
penafsiran tersebut di kenal dengan nama al-Laun
al-Adaby al-Ijtima’I. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini
adalah tafsir al-Manar yang merupakan
hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh
Muhammad Abduh dan Sayyid Muahammad Rasyid Ridha.
Dalam makalah ini,
pemakalah membatasi pembahasannya tentang tafsir corak al-Adaby al-Ijtima’I ditinjau dari sisi historis dan mencoba untuk
memahami penafsiran beberapa ulama yang memakai corak seperti ini. Adapu
rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
-
pengertian al-Adaby al-Ijtima’i
-
Tokoh
-
Contoh penafsiran
pembahasan
A.PENGERTIAN
Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari
kata kerja (madhi) aduba, yang
berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut
bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah
laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu,
istilah al-adaby bisa diterjemahkan
sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy
bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra
budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[3]
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat
atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah
didengar. [4]
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah corak
penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak
penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi
ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
B. TOKOH
Ø Syaikh
muhammad abduh
·
Setting sosio-historis Muhammad Abduh
Tokoh utama corak
penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i)
serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang
kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa
al-Maraghi.
Syaikh Muhammad Abduh
adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat
Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari
keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak pula keturunan bangsawan. Namun
demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[5]
Mula-mula
Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha untuk
mempelajari tajwid al-Qur’an. Ia belajar disan sampai dua tahun. Setelah itu,
ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara
serta kaum kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.Walaupun
sudah kawin, ayahnya memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh
sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana
banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu
dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan
tentang al-Qur’an. Sang paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh
dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya.
Dari sini Muhammad Abduh
kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk
belajar telah jauh berbeda disbanding pertama kali ia ke sana.Dari Thantha,
Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan
Februari, 1866. Namun system pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya,
karena menurut Abduh:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
1. Syaikh Hasan al-Thawil yang
mengajarkan kitab filsafat, padahal kitab tersebut tidak diajarkan pada waktu
itu.
2. Muhammad al-Basyuni, seorang yang
banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melaluiajaran
tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.[6]
Pada tahun 1294 H ia telah
memperoleh ijazah sarjana dari al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika
itu dating ke Mesir. Muahmmad Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan
kuliah-kuliahnya, baik di rumahnya, di kafenya, ketika ia sedang berkunjung
atau dikunjungi. Kedua tokoh ini mersa ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga
mereka akhirnya saling membantu dan sama-sama menaruh rasa suka.[7]Setelah
dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan
yang sangat berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis
kitab-kitab karangannya seperti Risalah
al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id al-Adhudhiyah (1875).
Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah
menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi)
dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[8]
Pada tahun 1888 Muahammad
Abduh kembali ke tanah airnya yang sebelumnya ia berpindah-pidah tempat dengan
berbagai alasan, dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di
Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Abduh sangat berminat untuk
mengajar, namun agaknya pemerintah Mesir sengaja untuk merintangi, agar
pemikiran-pemikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebijakan pemerintah
pada saat itu tidak dapat diteruskan pada putra-putri Mesir.Pada tahun 1905
Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini mendapat
tanggapan antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan
disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas
yang ia cita-citakan baru berdiri setelah ia berpulang ke Rahmatullah, dan
universitas inilah yang kemudian menjadi “Universitas Kairo.”
Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada
murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman
ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan
masa kini. Benih-benih kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan
Jamaluddin al-Afghani, yang kepadanya Abduh berguru. Abduh memebrikan mata
kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan
mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata
kuliah tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan teliti, yang akhirnya
dengan gurunya inilah ia buahkan kitab tafsir yang diberi nama al-Manar.[9]Pada
11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi
kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka sekian banyak
tokoh non-Muslim.[10]
Ø Sayyid
muhammad rasyid ridha
·
Setting sosio-historis
Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon,
pada 27 Juamadil ‘Ula 1282 H. Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis
keturunan langsung dari Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
Putri Rasulullah saw.Disamping orangtuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga
kepada sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan
di kampungnya yang ketika itu dinamai al-Kuttab,
di sana diajarkan membaca al-Qur’an, menulis, dan dasar-dasar
berhitung.Setelah tamat Rasyid Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli,
Lebanon untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan Nahwu, Sharaf,
Aqidah, Fiqh, behitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan di
sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada saat itu berada di
bawah kekuasaan Ustmaniyah. Mereka belajar di sana dipersiapkan untuk menjadi
pegawai-pegawai pemerintah.
Karena itu Rasyid Ridha
tidak tertarik untuk belajar di sana. Setahun kemudian, yatu pada tahun 1299
H/1822 M, ia pindah ke Sekolah Islam Negri, yang merupakan sekolah terbaik pada
saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula
bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan oleh ulama besar Syam ketika
itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil
sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan
antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh
pemerintah Turki. Syaikh Husan al-Jisr juga yang memberi kesempatan kepada
Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan itu
kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.[11]
Pada saat Rasyid Ridha
memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian
untuk kaumpria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media masa,Muhammad
Abduh memimpin pula gerakan pembaruan di Mesir.Majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan
Muahammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut dibaca
pula oleh Rasyid Ridha dan member pengaruh sangat besar terhadap jiwanya,
sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi pemuda yang penuh
semangat.Kekagumannya kepada Muhammad Abduh
bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya
pada 1885 dan mengajar sambil mengarang. Pertemuan antar keduanya terjadi
ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya,
Syaikh Abdullah al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Berkat
inilah mereka berdua bertemu untuk pertama kali.Pertemuan kedua terjadi pada
tahun 1312 H/1894 M, juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh
sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan
sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari
pertemuan kedua, maka baru pada 23 Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi
pertemuan ketiga di Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid
Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang
mengolah masalah-masalah social, budaya dan agama.Pada mulanya Abduh tidak
menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media
massa, apalagi persoalan yang akan diolah kurang menarik perhatian umum. Namun
Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian selama
satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya Abduh merestui dan
memeilih nama al-Manar dari sekian
banyak nama yang diusulkan Rasyid Ridha.Akhirnya al-Manar melangsungkan launching pertamanya pada 22 Syawwal 1315
H/17 Maret 1898 M berupa Mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat
sambutan hangat, bahkan bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya
saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke Indonesia.[12]Setelah
suksesnya penerbitan majalah al-Manar, kemudian
Rasyid Ridha menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab
tafsir yang juga diberi nama al-Manar, kitab
tafsir ini mengandung pembaruan dan sesuai denga perkembangan zaman. Ia
berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat,
disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal,
umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.[13]
Dalam perjalanan pulang
dari kota suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-Faisal, mobil yang
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam
perjalanan, Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, walau ia telah sekian kali
muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang
menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah dan disertai
senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.[14]
C. Contoh penafsiran
Pemikiran Muhammad Abduh
yang dimasukkan dalam penafsiran atas al-Qur’an, yang dipublikasikan
berdasarkan atas kitab yang diturunkan (wahyukan).perbedaan dalam tujuan
menafsirkan al-Qur’an itu tampak ketika beliau menafsirkan al-Qur’an dengan
menggunakan persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an
al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan
urusan duniawi dalam setiap masa. Ketika spirit inilah, Muhammad Abduh memiliki
pandangan yang bertolak belakang dengan para ahli tafsir klasik, bahwa nilai
al-Qur’an it uterus mengalami peningkatan disebabkan minimnya pengaruh
konseptual dari aturan-atura balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an.
Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
“sesungguhnya Allah adalah
Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”. Maka yang harus digaris
bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang
sangat berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang
ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya
itu memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para
ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna
yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la). Serta pertayaan yang terkait
dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat
para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan
Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih
utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para
nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama daripada malaikat.
Telah
terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan
ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
“Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan)
malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk
menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka
semua kepada-Nya”.pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa
menurut tartib ayat.
Jelaslah,
bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu
menunjukkan pada makna “kasih sayang yang
sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat
dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya.
Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) aat
ini tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna
yag lebih karena adanya pemisah.[15]
PENUTUP
Ø Kesimpulan
· Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan masyarakat dan berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan.
· Tokoh dalam corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i) adalah dan
dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi
· Abduh yang ketika itu baru berumur 26
tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi)
dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[16]
· Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an
dengan menggunakan persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa
al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan
agama dan urusan duniawi dalam setiap masa.
· Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah
merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya.
Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran
sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini.
Ø Saran
Akhirnya pemakalah
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
pemakalah memohon kritikan dan saran pembca guna memperbaiki dan menyempurnakan
makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
ü al-Qattan.Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an.2007.Jakarta: Litera Nusantara.,ctk. 10.
ü al-Syirbashi,.Ahmad.2001.Sejarah Tafsir al-Qur’an.Jakarta: Firdaus.
ü al-‘Aridl,.Ali Hasan.1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir .Jakarta: CV. Rajawali Pers.
ü Al Muhatsib,Abdul Majid Abdus Salam.1997.Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an
Kontemporer.Bangil: al-Izzah.
ü Karman,Supiana-M.2002. Ulumul Qur’an.Bandung: pustaka islamika.
ü Syihab.Quraish.1994. Studi Kritis Tafsir al-Manar .Bandung: pustaka hidayah.
ü Syihab.Quraish.2007. Membumikan al-Qur’an.Bandung: PT. Mizan Pustaka.ctk. I.
[1] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah
Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Firdaus, 2001), hlm. 161
[2] Ali Hasan al-“Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992), hlm. 69-70
[3] Supiana-M. Karman, Ulumul
Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm. 316-317
[4] Quraish Syihab, Membumikan
al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I, hlm. 108
[5] Quraish Syihab, Studi Kritis
Tafsir al-Manar (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 11
[6] Quraish Syihab, Studi Kritis
Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994) hlm. 12-13
[7] Abdul Majid Abdus Salam Al Muhatsib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Bangil: AL IZZAH,
1997), hlm.106
[8] Quraih Syihab, Studi Kritis
Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 14
[9] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Litera Nusantara, 2007),ctk. 10, hlm. 511-512
[10] Quraish Syihab, Studi Kritis
Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 16-17
[11] Quraish Syihab, Studi Kritis
Tafsir al-Manar (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 59-61
[12] Quraish Syihab, Studi …
hlm. 59-64
[13] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah
Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Firdaus, 2001), hlm. 161
[14] Quraish Syihab, Studi …hlm.
65
[15] Ignaz Goldziher,mazhab……..hal
422
[16] Quraih Syihab, Studi Kritis
Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 14
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar