BIOGRAFI
DAN PEMIKIRAN YŪSUF AL-QARADĀWĪ
TENTANG
KONSUMSI
A. Biografi Yūsuf al-Qaradāwī
1. Kelahiran dan Pendidikan Yūsuf al-Qaradāwī
Nama lengkap Yūsuf al-Qaradāwī adalah Muhammad Yūsuf
al- Qaradāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926 di sebuah desa kecil di
Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta. Ia berasal dari keluarga yang taat
menjalankan ajaran agama Islam. Ketika usia dua tahun, ayahnya meninggal dunia
yang kemudian diasuh oleh pamannya yang keluarganya pun taat menjalankan ajaran
Islam, ia diasuh sebagaimana layaknya terhadap anak kandungnya sendiri.
Sehingga Yūsuf al-Qaradāwī menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri, maka
tidak heran kalau Yūsuf al-Qaradāwī menjadi seorang yang kuat beragama.[1]
Kecerdasan Yūsuf al-Qaradāwī sudah mulai tampak sejak
usianya terhitung sangat belia, ketika usianya lima tahun ia dididik menghafalkan al-Qur’an
secara intensif oleh pamannya dan pada usianya yang kesepuluh sudah hafal al-Qur’an dengan fasih. Karena
kemahirannya dalam bidang al-Qur’an pada masa remajanya ia terbiasa dipanggil
oleh orang-orang dengan sebutan Syekh Qaradāwī. Dan dengan kemahirannya serta
suaranya yang merdu, ia selalu ditunjuk untuk menjadi imam pada salat jahriyyah
(salat yang mengeraskan bacaannya).[2]
Dalam pendidikan, Yūsuf al-Qaradāwī telah lulus dari
Ma’had Tanta, selama empat tahun. Kemudian di Ma’had Sanawi yang diselesaikan
dalam waktu lima
tahun. Yūsuf al-Qaradāwī kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas
Al-Azhar Cairo, beliau mengambil
Fakultas Ushuludin, jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 dengan
predikat terbaik.
Pada tahun 1957 Yūsuf al-Qaradāwī masuk ke Ma’had
al-Buhus ad-Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah sehingga mendapatkan diploma tinggi
di bidang bahasa dan sastra. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat
pertama di antara 500 mahasiswa. Kemudian
melanjutkan studinya ke lembaga tinggi riset dan penelitian
masalah-masalah Islam dan perkembangannya, selama tiga tahun. Dan pada saat
yang sama ia mengikuti kuliah pada program pasca sarjana (Dirāsāt al-'Ūlā)
di Universitas yang sama dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis, berhasil
diselesaikan pada tahun 1960. Setelah itu Yūsuf al-Qaradāwī melanjutkan program doktor yang selesai dalam
dua tahun, gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi
“Zakat Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian
disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas
persoalan zakat dengan nuansa modern.
Yūsuf al-Qaradāwī terlambat dalam meraih gelar doktor
dari yang diperkirakan semula karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat
kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1961 beliau menuju Qatar , di sana Yūsuf al-Qaradāwī sempat
mendirikan fakultas Syari’ah di Universitas Qatar . Pada saat yang sama Yūsuf al-Qaradāwī mendirikan Pusat
Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi.
Sebab yang lain yaitu pada tahun 1968-1970, Yūsuf al-Qaradāwī ditahan oleh
penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan Ikhwanul Muslimin.[3]
Setelah keluar dari tahanan, beliau hijrah ke Daha , Qatar
yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalan hidupnya, Yūsuf al-Qaradāwī pernah mengenyam pendidikan penjara sejak dari
mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia masuk bui tahun 1949, saat umurnya
masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun.
Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir.
Bulan Oktober Yūsuf al- Qaradāwī
kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.[4]
2. Aktifitas Ilmiah Yūsuf al-Qaradāwī
Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang tokoh umat Islam yang sangat
menonjol di zaman ini, ia pernah berprofesi sebagai penceramah dan pengajar di
berbagai masjid. Selain itu al-Qaradāwī
menjadi pengawas pada Akademi Para Imam, lembaga yang berada di bawah
Kementerian Wakaf di Mesir. Setelah itu al-Qaradāwī pindak ke urusan bagian Administrasi Umum untuk
Masalah-masalah Budaya Islam di Al-Azhar. Di tempat ini beliau bertugas untuk
mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang menyangkut teknis pada
bidang dakwah.[5]
Dalam bidang dakwah, Yūsuf al-Qaradāwī aktif manyampaikan
pesan-pesan keagamaan mulai program khusus di radio dan televisi Qatar , antara
lain melalui acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang keagamaan.
Yūsuf al-Qaradāwī mulai aktif dakwahnya sejak masa remajanya,
yaitu sejak masih duduk di sekolah menengah pertama di Tanta . Saat itu ia masih berumur enam belas
tahun. Memulai dakwahnya dari desanya yang kemudian di lingkungan sekitarnya.
Dalam dakwahnya banyak menggunakan sarana yang bervariasi di antaranya adalah
dari mimbar sebagai sarana tradisional yang memiliki jejak sejarah panjang,
yakni dari masjid-masjid, dari masjidlah Yūsuf al-Qaradāwī menyampaikan khutbah
dan pelajaran-pelajarannya, menyampaikan nasehat dan fatwa-fatwanya. Hingga
kini Yūsuf al-Qaradāwī menjadi khatib tetap di Masjid Umar bin Khathab yang
pelaksanaannya langsung di televisi Qatar .[6]
Al-Qaradāwī juga
telah menjadikan media sebagai mimbar dakwahnya, diantaranya radio-radio, yang
dalam penyampaiannya ada yang berhubungan dengan Tafsir al-Qur’an, ada yang
berkenaan dengan keterangan-keterangn tentang Hadis, ada juga yang berhubungan
nasehat-nasehat tentang moral, ada pula yang berhubungan dengan tanya jawab
masalah agama secara umum; di televisi, diantaranya dalam acara Hadyu al-Islam
yang ditayangkan setiap hari jum’at di stasiun televisi di Qatar yang
berlangsung sampai sekarang, ada yang di televisi global yang di dalamnya
bercampur antara kebaikan dan kejahatan, program siaran ini bernama asy-Syarī’ah
wal Hayāh (syari’ah dan kehidupan). Di televisi al-Jazirah, al-Qaradāwī dianggap sebagai acara yang paling sukses, ada pula di acara
televisi di Dubai
yang acara ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya yang
dijawab tanpa persiapan sebelumnya. Ini semua menggambarkan kedalaman ilmu
pengetahuanm Yūsuf al-Qaradāwī.
Hingga sebuah surat
kabarnya yang terbit di mesir memberikanya gelar sebagai “ensiklopedi
berjalan”. Bisa dikatakan tidak ada satu stasiun televisi pun yang ada di
wilayah Arab yang tidak menyiarkan ceramah-ceramah Yūsuf al- Qaradāwī.[7]
Selain itu Yūsuf al-Qaradāwī
juga menyebarkan dakwahnya melalui media cetak. Tulisan-tulisan tersebar di
berbagai majalah, surat
kabar. Media terakhir yang dijadikan sarana dakwah adalah media internet.[8]
3. Karya-karya Yūsuf al-Qaradāwī [9]
Sebagai seorang ilmuwan dan da’i, Yūsuf al-Qaradāwī juga
aktif menulis artikel keagamaan di berbagai media cetak. Aktif melakukan
penelitian tentang Islam di berbagai dunia Islam maupun di luar dunia Islam.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, ia banyak menulis
buku-buku dalam berbagai masalah pengetahuan Islam, jelas tidak mengherankan
sekiranya mendapatkan predikat seorang mufti Islam dewasa ini. Di antara
karya-karyanya yang paling populer di kalangan perguruan tinggi dan pesantren
ialah:
a. Al-Halāl wa al- Harām fi al-Islām (tentang masalah yang
halal dan haram dalam Islam)
b.
Fiqh az-Zakāh (berbagai
masalah zakat dan hukumnya)
c.
Al-Ibadah fi al-Islām (hal
ihwal ibadah dalam Islam)
d.
An-Nas wa al-Haqq (tentang
manusia dan kebenaran)
e.
Al-Iman wa al-Hayah (mengenai
keimanan dan kehidupan)
f.
Al-Hulul al-Mustauradah (paham
hulul [Tuhan mengambil tempat pada diri manusia] yang diimpor dari non Islam)
g.
Al-Hill al-Islām (kebebasan
Islam)
h.
Syarī’ah al-Islām Sālihha li
at-Tatbīq fi Kulli Zamānin wa Makānin (mengenai syari’at islam, elastisitas
dan kesesuaian dalam penerapannya pada setiap masa dan tempat)
i.
Al-Ijtihād fi asy-Syarī’ah
al-Islāmiyyah (ijtihad dalam syari’at Islam)
j.
Fiqh as-Siyam (fikih
puasa).
4. Metode Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī
Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang pemikir produk sejarah.[10] Oleh karena itu, untuk
membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepas
begitu saja, namun jelas pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tidak dapat dilepas dari
pemikiran Islamnya. Sikap moderat sering dilekatkan pada pribadi Yūsuf al-Qaradāwī.
Sikap moderat tersebut tidak dapat diabaikan, karena hampir dalam semua karya Yūsuf
al-Qaradāwī selalu mengedepankan prinsip al-Wasatiyah al-Islamiyah (Islam
pertengahan). Corak pemikiran pertama yang bisa ditangkap dengan jelas dari
pemahaman Yūsuf al-Qaradāwī adalah pemahaman fiqhnya yang mampu menggabungkan
antara fiqh dan hadis. Ciri seperti ini merupakan ciri yang tidak pernah lepas
dari tulisan-tulisannya secara keseluruhan.
Sebagai ulama yang memiliki kepekaan apresiasi tinggi
terhadap al-Qur’an dan as-Sunah, Yūsuf al-Qaradāwī telah berhasil dengan sangat
jenius menangkap ruh dan semangat ajaran kedua sumber hukum Islam tersebut.
Fleksibelitasnya, kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran Islam
sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak, namun pada saat yang
sama ia pun sangat kuat dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya yang
digalinya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Yūsuf al- Qaradāwī dengan gencar
mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihan-kelebihannya oleh umat-umat
lain diluar agama Islam. Ia juga sangat berhati-hati dan sangat selektif
terhadap berbagai propoganda pemikiran Barat atau Timur, termasuk dari karangan
umat Islam sendiri, Yūsuf al-Qaradāwī tidak pernah terjebak dalam dikotomi
Barat dan Timur.[11]
Dalam masalah ijtihad, Yūsuf al-Qaradāwī merupakan seorang
ulama kontemporer yang menyuarakan bahwa menjadi seorang ulama mujtahid yang
berwawasan luas dan berpikir obyektif, ulama harus lebih banyak membaca dan
menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non Islam serta membaca
kritik-kritik pihak lawan Islam.[12]
Yūsuf al-Qaradāwī adalah salah seorang dari sedikit ulama
yang tak jemu mengembalikan identitas umat melalui tulisan-tulisannya.
Keresahan menyaksikan tragedi perpecahan umat dan galau akan kebodohan umat
terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak sikapnya mengembangkan budaya
menulis. Sekali lagi, Yūsuf al-Qaradāwī berkeyakinan bahwa mengambil jalan
pertengahan (sikap moderat) adalah yang terbaik dan yang paling sesuai dengan
warisan nilai Islam. Dan cara menyebarkan opini itu adalah melalui tulisan.[13]
Menanggapi adanya golongan yang menolak pembaharuan, termasuk
pembaharuan hukum Islam. Yūsuf al-Qaradāwī berkomentar bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak mengerti jiwa dan cita-cita Islam dan tidak memahami
parsialitas dalam kerangka global. Menurutnya, golongan modern ekstrem yang
menginginkan bahwa semua yang berbau kuno harus dihapuskan meskipun telah
mengakar dengan budaya masyarakat, sama dengan golongan di atas yang tidak
memahami jiwa dan cita-cita Islam yang sebenarnya. Yang diinginkannya adalah
pembaharuan yang tetap berada di bawah naungan Islam. Pembaharuan hukum Islam,
menurutnya bukan berarti ijtihad semata, karena ijtihad lebih ditekankan pada
bidang pemikiran dan bersifat ilmiah, sedangkan pembaharuan harus meliputi
bidang pemikiran sikap mental dan sikap bertindak yakni ilmu, iman dan amal.[14]
Dalam metode ijtihad yang ditempuh oleh Yūsuf al-Qaradāwī dalam
berfatwa ini ditegaskan atas beberapa prinsip sebagai berikut: [15]
a.
Tidak fanatik dan tidak taqlid.
Ini merupakan prinsip pertama, yaitu terlepas dari fanatisme
mazhab dan taqlid buta terhadap siapa pun, baik kepada ulama terdahulu maupun
ulama setelahnya. Karena telah dikatakan “tidaklah berbuat taqlid kecuali orang
fanatik atau orang tolol”. Pada hakekatnya tidak fanatik dan tidak taqlid
bukanlah menodai mereka, akan tetapi merupakan penghormatan sepenuhnya kepada
para imam dan fuqaha kita. Bahkan mengikuti metode dan cara mereka,
melaksanakan pesan mereka agar kita tidak taqlid kepada mereka atau kepada
orang lain, dan mengambil sesuatu dari sumber tempat mereka mengambil.
Sikap ini tidak mutlak dimiliki oleh seorang ulama yang
independen dalam pemahaman yang telah mencapai derajat mujtahid seperti
imam-imam terdahulu, namun cukup bagi seorang ulama yang independen dalam sikap
ini beberapa hal berikut:
1)
Tidak mengemukakan pendapat atau
keputusan yang tidak ada dalil yang kuat atau dalil yang tidak kontradiktif dan
tidak menjadi seperti sebagian orang yang mendukung satu pendapat tertentu
karena pendapat tersebut merupakan pendapat mazhabnya yang tanpa melihat dalil
atau bukti kebenarannya.
2)
Mampu melakukan tarjih di antara
berbagai pendapat yang berbeda atau berlawanan dengan mempertimbangkan
dalil-dalil dan argumentasi masing-masing serta memperhatikan sandaran mereka,
baik dari dalil naqli maupun aqli.
3)
Mampu berijtihad secara parsial,
yaitu ijtihad untuk menentukan masalah-masalah tertentu, terlebih masalah yang
belum diputuskan oleh para ulama terdahulu dan mampu menetapkan hukum dengan
cara menggalinya dari nas-nas umum yang sahih atau mengqiyaskannya kepada
masalah yang serupa yang ada nas hukumnya atau juga dengan menggunakan kaidah istihsan,[16]
maslahah mursalah,[17]
atau dengan cara yang lainnya.
b.
Mempermudah, tidak mempersulit.
Hal ini dasarkan atas dua alasan. Alasan pertama mengenai
masalah taharah dan tayamum, dalam surat
al-Maidah Allah berfirman:
Dalam surat al-Baqarah ayat 185
juga dijelaskan mengenai pemberian dispensasi kepada orang sakit serta musafir
untuk berbuka, firman Allah:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[19]
Selain kedua
ayat di atas, disebutkan pula di dalam surat
an-Nisa’ ayat 28 yang membicarakan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi,
yakni Allah memberikan kemurahan untuk mengawini budak-budak wanita yang
beriman bagi orang yang tidak mampu kawin dengan wanita merdeka.
يريد الله ان يخفف عنكم وخلق الانسان ضعيفا [20]
Dan di dalam surat al-Hajj ayat 78
juga disebutkan berkaitan dengan hal ini
Nabi SAW pun bersabda
Alasan yang kedua yaitu karakteristik zaman yang terus
tambah, dimana zaman sekarang menggambarkan sikap hidup materialisme yang lebih
dominan dari pada spiritualisme, individualisme lebih dominan dari pada
kebersamaan (sosialisme), pragmatisme lebih dominan dari pada akhlak. Maka
sudah seharusnya bagi ahli fatwa untuk memberikan kemudahan kepada mereka
sesuai dengan kemampuannya, dan banyak memberikan rukhsoh (yang
meringankan) dari pada ‘azimah (yang keras atau berat) agar mereka makin
gemar dalam menjalankan agama dan mengokohkan kakinya dijalan yang lurus.
c.
Berbicara dengan bahasa aktual.
Yaitu berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah
dicerna oleh masyarakat penerima fatwa, dengan menjauhi istilah-istilah yang
sukar dimengerti atau ungkapan-ungkapan yang aneh, sebagaimana yang Allah firmankan:
وما ارسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم [22]
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang mufti dalam
penguasaan bahasa, antara lain:
1)
Berbicara secara rasional dan
tidak berlebihan
2)
Tidak menggunakan istilah-istilah
yang sulit dimengerti
3)
Menyebutkan hukum disertai hikmah
dan sebab ketentuan hukumnya (‘illat) yang dikaitkan dengan epistimilogi Islam.
d. Berpaling
dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
Prinsip keempat yang digunakan adalah tidak menyibukkan dirinya dalam
masyarakat kecuali dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Hal ini harus
dipatuhi oleh seorang mufti, yang terkadang dan bahkan sering terjadi seorang
mufti mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak serius, bahkan cenderung
berupa ejekan. Seorang mufti harus pandai mensikapi masalah tersebut, dengan
cara mengesampingkan pertanyaan tersebut dan bahkan tidak menghiraukan sama
sekali. Sebab hal itu dapat menimbulkan bahaya yang tidak membawa manfaat,
dapat meruntuhkan, dapat memecah, tidak membangun dan tidak mempersatukan umat.
e.
Bersikap moderat: antara memperlonggar dan memperkuat.
Prinsip kelima yang digunakan adalah bersikap moderat (pertengahan)
antara tafrit (memperingan) dengan ifrat (memperkuat). Seorang
mufti tidak menginginkan masyarakatnya hendak melepaskan ikatan-ikatan hukum
yang telah tetap dengan alasan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman
seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mengabdikan pada modernisasi.
Selain itu juga tidak ingin masyarakatnya hendak membakukan dan membekukan
fatwa-fatwa, perkataan dan ungkapan-ungkapan terdahulu karena menganggap suci
segala sesuatu yang dulu.
f.
Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.
Seorang mufti dalam menjawab pertanyaan dituntut untuk memberikan
keterangan dan penjelasan, karena dengan begitu orang yang bodoh menjadi
mengerti, orang yang lupa menjadi sadar, orang yang ragu menjadi mantap, orang
yang bimbang menjadi yakin, orang yang pandai menjadi bertambah ilmunya, dan
orang yang beriman semakin bertambah imannya.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufti
dalam memberikan keterangan dan penjelasan adalah sebagai berikut:[23]
a.
Fatwa tidak ada artinya jika tidak
disertai dalil. Karena keindahan dan ruh fatwa itu terletak pada dalil itu
sendiri.
b.
Menyebutkan hikmah dan sebab
hukum.
c. Mengkomparasikan sikap dan pandangan Islam dengan sesuatu yang
di luar Islam.
d. Memberikan pengantar atau pendahuluan ketika hendak menjelaskan
hukum yang dirasa aneh atau asing.
e. Memberikan alternatif lain untuk hukum yang diharamkan.
f. Menghubungkan sesuatu yang telah ditentukan dengan sesuatu yang
lain dalam hukum Islam. Dengan demikian dapat dilihat secara jelas keadilan,
kebaikan dan keunggulan syari’at Islam.
g. Tidak wajib dijawab atas pertanyaan yang tidak ada urgensinya
dan tidak membawa manfaat sama sekali.
Dalam bidang ekonomi Islam,[24]
Yūsuf al-Qaradāwī tidak lama menfokuskan terhadap masalah ekonomi Islam baik
secara teoritis maupun praktis. Dari sisi teoritis telah banyak disampaikan
ceramah dan pelatihan tentang ekonomi Islam dan mengarang beberapa buku tentang
ekonomi Islam yang banyak tersebar di beberapa negara Islam. Dari sudut praktis
Yūsuf al- Qaradāwī merupakan sosok pendukung utama pendirian bank-bank Islam,
baik sebelum bank itu berdiri maupun setelahnya. Dalam kitabnya bai’
al-murabahah, ia berkata “sesungguhnya kepedulian saya terhadap ekonomi
Islam merupakan gambaran kepedulian saya terhadap salah satu sisi syari’ah
Islam dan usaha-usaha penerapannya di dalam segala lapangan kehidupan serta
usaha menjadikannya sebagai pengganti hukum-hukum positif yang ada saat ini.”
Selain hal di atas, dalam pengambilan hadis
yang digunakan oleh Yūsuf al-Qaradāwī lebih mengunggulkan hadis yang mengandung
ketentuan hukum yang meringankan dari pada hadis yang mengandung ketentuan
hukum yang memberatkan. Karena prinsip-prinsip hukum Islam adalah meringankan,
bukan memberatkan.[25]
B.
Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang
Konsumsi
- Tidak
kikir atau bakhil
Harta
yang ada di dalam semesta ini adalah anugrah yang diberikan Allah SWT. kepada
manusia. Dan setiap manusia mempunyai hak yang disahkan menurut Islam untuk
memiliki harta, namun kepemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk
menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Perintah
diwajibkan untuk membelanjakan harta tercantum setelah anjuran beriman kepada
Allah dan nabi-Nya. Kombinasi antara iman dan infak banyak terdapat di dalam
ayat al-Qur’an, sebagaiman firman Allah :
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقناهم ينفقون .[26]
Dalam membelanjakan harta, Islam menggariskan bahwa tidak
boleh melampaui batas, misalnya dalam menafkahkan hartanya untuk orang banyak
dalam jumlah lebih besar dari pada nafkah pribadinya dan sebaliknya dalam
membelanjakan harta tidak boleh terlalu menghemat baik untuk kepentingan diri
maupun keluarganya. Sebagaimana firman Allah:
ولاتجعل
يدك مغلولة الى عنقك ولاتبسطها كل البسط فتقعد
Allah melarang makhluknya menjerat leher dengan cara
hidup terlalu hemat sebagaimana telah melarang hidup boros dan berfoya-foya.
Dalam hal ini tidak hanya terbatas pada pakaian, tetapi mencakup juga sandang,
pangan, papan dan segala kebutuhan pokok.
Adapun dalam membelanjakan harta menurut Yūsuf al-Qaradāwī
ada beberapa sasaran, yaitu sebagai berikut:[28]
a.
Fi sabilillah.
Bentuk membelanjakan harta atau menafkahkan harta fi
sabilillah (di jalan Allah) terdapat bermacam-macam bentuk variasi:
1)
Dalam bentuk perintah dan
peringatan. Allah memerintah kita supaya jangan menjatuhkan diri kedalam
kebinasaan. Dalam artian menyibukkan diri dengan kepentingan pribadi dengan
mengabaikan problematika umat. Dalam firman Allah disebutkan:
2) Dalam
bentuk pengingkaran seperti dalam firman Allah:
3) Dalam bentuk anjuran dengan pokok yang baik,
seperti diungkapkan dalam ayat:
مثل
الذين ينفقون اموالهم فى سبيل الله كمثل حبة انبتت سبع سنابل فى كل سنبلة مائة حبة
والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم[31]
4)
Dalam bentuk ancaman yang keras dengan sanksi Allah dan azab-Nya yang
pedih, seperti diungkap dalam ayat yang artinya :
والذين يكنزون
الذهب والفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله فبشرهم بعذاب اليم . يوم يحمى عليها في
نار جهنم فتكوى بها جباههم و جنوبهم وظهورهم هذا ما كنزتم لأنفسكم فذوقوا ما كنتم
تكنزون[32]
Dari ayat-ayat di atas maka pengalokasian nafkah yang
wajib dibelanjakan hendaknya diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Mengenai berapa nafkah yang dikeluarkan, seperti dalam
firman Allah menjelaskan.
Kata al-‘afwu bermakna kelebihan dari kebutuhan
خير الصدقة ماكان عن ظهر غنى وابدأ بمن تعول[34]
Menurut sebagian ulama dalam mengartikan menafkahkan
harta di jalan Allah berarti semua amal yang mendekatkan diri kepada Allah
secara umum. Sedangkan menurut empat mazhab, bahwa di jalan Allah dibatasi pada
masalah-masalah yang dihubungi dengan jihad saja, yaitu perjuangan yang ikut
bertempur dimedia perang.[35]
Adapun pendapat Yūsuf al-Qaradāwī mengenai arti nafkah
“di jalan Allah” diperluas, sehingga akan meliputi segala masalah yang baik,
dan tidak dipersempit pada masalah-masalah yang ada hubungannya dengan jihad, misalnya untuk
militer dan perlengkapannya saja. Arti jihad terhadap itu sangat luas, jihad
tidak hanya dengan pedang atau perlengakapan militer lainnya, akan tetapi
dengan pena atau lidah sudah termasuk bagian dari jihad, dibidang ekonomi,
politik, pendidikan atau sosial pun termasuk bagian dari jihad..[36]
Dengan demikian arti jihad dalam ekonomi khususnya
konsumsi termasuk berusaha dan mencegah untuk tidak bakhil atau kikir, juga
termasuk berfoya-foya dan melakukan kemubadziran.
b.
Untuk diri dan keluarga.
Bentuk nafkah yang kedua adalah
nafkah untuk diri sendiri dan keluarga yang ditanggungnya. Sudah seharusnya
menjadi kewajiban bagi diri manusia yang telah dikaruniai oleh Allah sebagai
makhluk yang paling sempurna ciptaan-Nya dibanding makhluk-makhluk yang lain
untuk menjaga mempertahankan hidup sebagai rasa syukur, bukan hanya pada diri
sendiri tetapi termasuk keluarganya. Seorang muslim tidak diperbolehkan
mengharamkan harta halal dan harta yang
baik untuk dikonsumsi bagi dan keluarganya, padahal sudah jelas mampu
mendapatkannya. Perintah diwajibkannya manusia untuk menikmati kenikmatan yang
halal, seperti makanan, minuman dan perhiasan, dalam al-Qur’an diterangkan
secara global
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق [37]
Dalam hal ini juga
tidak membenarkan kesengsaraan yang disengaja dijalani, dengan alasan untuk
beribadah atau untuk menghemat uang karena hal tersebut termasuk sikap yang
membinasakan kehidupan manusia.
Kehidupan istri dan
anak-anaknya merupakan bagian dari kehidupan diri sendiri yang sudah
sepantasnya untuk diberi nafkah, dan bukan hanya sekedar nafkah tetapi nafkah
yang baik.
ومتعوهن على
الموسع قدره و على المقترقدره
Bukan hanya nafkah
baik yang harus diberikan, namun termasuk membangun rumah yang luas dan nyaman.
Dalam pembangunan rumah ini seseorang harus mempunyai sikap yang sama dalam
memberikan dan mengkonsumsi nafkah yang diberikan, yaitu sikap tidak boros atau
mubazir.
Keindahan dalam rumah
bukan berarti mendorong untuk bersikap boros, karena keindahan ini sifatnya
relatif yaitu tergantung pada tempat dan waktu.
2.
Tidak mubazir
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta
miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta
menafkahkannya di jalan Allah. Dengan kata lain, bahwa Islam adalah agama yang
memerangi kekikiran dan kebakhilan.
Mubazir adalah menghambur-hamburkan uang tanpa ada
kemaslahatan atau tanpa mendapatkan pahala. Di dalam kamus, tabzir artinya
“pemborosan dan penghamburan harta”.
Menurut sebagian orang, menghambur-hamburkan uang
selalu berkaitan dengan sikap boros dalam membelanjakan barang yang haram. Pendapat
lain bahwa menghambur-hamburkan berkaitan
dengan membelanjakan barang haram. Tapi pendapat yang paling kuat
adalah, menghambur-hamburkan uang itu berkaitan dengan segala jenis
pembelanjaan yang tidak diizinkan oleh syari’at, baik untuk kepentingan agama
maupun kepentingan dunia.
Betapa banyak ditemukan bahwa mannusia membenjakan
hartanya untuk membeli minuman keras, narkotika, dan barang memabukkan lainnya,
sedang ia hidup dalam kamiskinan.
Sikap mubazir akan menghilangkan kemaslahatan harta,
baik kemaslahatan pribadi ataupun kemaslahatan orang lain. Lain halnya jika
harta atau uang itu dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala,
dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Dan pola hidup
sederhana tidak hanya dituntut dalam kehidupan pribadi akan tetapi pola hidup
sederhana juga dituntut dalam kehidupan bernegara.
Sikap boros termasuk sikap yang merusak harta,
meremehkan, atau kurang merawatnya sehingga rusak dan binasa. Perbuatan ini
termasuk kriteria menghambur-hamburkan uang yang dilarang contohnya adalah
menelantarkan hewan hingga kelaparan
atau sakit, menelantarkan tanaman hingga
rusak, menelantarkan biji-bijian, makanan atau buah-buahan hingga rusak dimakan
bakteri atau serangga dan membiarkan bangunan rusak dimakan usia. Termasuk
menelantarkan tanaman tanah perkebunan tanpa ditanami, menelantarkan sumber
daya hewani padahal kulit, susu atau bagian lainnya bisa dimanfaatkan, dan
lain-lain.[39]
Islam tidak hanya menentang sikap berlebih-lebihan dalam beribadah seperti
puasa, sholat, membaca al-Qur’an, bangun malam sehingga menggangu kesehatan
badan karena, Islam adalah agama yang memperhatikan kesehatan badan dengan cara
menunjukkan pola hidup sederhana.
3.
Kesederhanaan
Islam mewajibkan setiap orang mambelanjakan harta
miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta
menafkahkannya di jalan Allah dengan sikap sederhana, dalam firman Allah :
Sikap sederhana semakin ditekankan ketika pemasukan
seseorang sangat minim, dengan cara menahan atau mengurangi pengeluarannya.
Kesederhanaan dalam konsumsi ini berlaku bagi siapa saja dan untuk siapa saja.
Pada prinsipnya setiap individu dalam syari’at Islam
bebas untuk mengkonsumsi rizki yang baik dan yang dihalalkan Allah, tapi dengan
syarat tidak membahayakan diri, keluarga atau pun masyarakat. Kebebasan yang
diberikan Allah bukan berarti dengan semauanya sendiri untuk membelanjakan
hartanya tanpa melihat batasan-batasan yang telah disebutkan di depan, yang bisa
mengakibatkan seseorang berhutang.
Menurut Yūsuf
al-Qaradāwī bukan cuma sikap
sederhana yang harus diterapkan tapi termasuk menghindari dari sikap kemewahan.
Kemewahan merupakan sikap yang dilarang karena menenggelamkan diri dalam
kenikmatan dan bermegah-megahan.
في سموم
وحميم وظل من يحموم. لا بارد ولا كريم .
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang hidup
mewah dalam perspektif al-Qur’an dianggap sebagai musuh dalam setiap risalah,
lawan setiap gerakan perbaikan dan kemajuan. Kemewahan di sini yaitu terlampau
berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana hiburan, serta
segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis makanan dan
minuman serta apa saja yang memadai rumah dari perabot dan hiasan, seni dan
patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan sejenisnya.
Dalam Islam kemewahan merupakan faktor utama dari
kerusakan dan kehancuran bagi diri sendiri dan masyarakat, sementara standar
kemewahan antara seorang dengan orang lain sangat berbeda dan tergantung pada
pendapatan masing-masing. Walaupun standar kemewahan terkait dengan pendapatan
individu, namun Islam menetapkan beberapa jenis barang yang tergolong sebagai
tanda kemewahan, di antaranya adalah:[42]
a.
Cawan emas dan perak.
Cawan emas dan perak
ini tidak hanya untuk makan dan minum, akan tetapi cawan emas dan perak ini termasuk untuk
perhiasan rumah, terutama patung-patung perak dan emas.
من شرب في
اناء من ذهب او فضة فإنما يجرجر في بطنه
b.
Kasur dari bahan kain sutra murni.
Selain dilarang memakai cawan emas dan perak Nabi SAW.
juga melarang memakai sutra atau duduk di atasnya. Diberitahukan kepada Nabi
oleh sahabat:
نهانا النبي
صلى الله عليه وسلم ان نشرب فى انية
الذهب
والفضة وان نأكل فيها، وعن لبس الحرير والديباج
c.
Gelang emas dan pakaian sutra bagi
laki-laki.
Termasuk pena emas, jam tangan dari emas, korek api
dan emas dan sejenisnya.
Yūsuf al-Qaradāwī menekankan kesederhanaan dalam hal
konsumsi tidak hanya pada seseorang dan keluarganya, namun kesederhanaan dalam pembelanjaan ditekankan pada kepentingan masyarakat atau
umum dan dalam pembelanjaan negara.[45]
[1]
Ensiklopesdi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qaradāwī, Yūsuf ”.
[2] Ibid.
[3]
Al-Ikhwan al-Muslimun: sebuah gerakan yang didirikan pada bulan Maret 1928 di
Kairo, Mesir oleh al-Imam al-Hasan al-Banna yang bertujuan untuk mempromosikan
Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing. David Commins,
“Hasan al-Banna (1906-1949), para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa
Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 133.
[4] Yūsuf
al-Qaradāwī, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9
Juli 2004.
5 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh Yūsuf
al-Qaradāwī, alih bahasa Samson Rahman (Jakarta : Pustaka Al-Kausar, 2001), hlm. 4.
6 Ibid.,
hlm. 10.
[7] Ibid.,
hlm. 12.
[8] Ibid.
[9]
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449-1450.
[10]
Dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual,
istilah pemikiran merupakan sesuatu yang ambisius, dapat diterapkan kepada
siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu, ia dapat diterapkan kepada
seorang philosopher, thinker, scholar/intelektual, yang merujuk kepada figure
pelajar. Lihat A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer” Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember
1998, hlm. 58.
[11]
Sri Vira Chandra, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili,
No. 25, Th. VII (31 Mei 2000), hlm. 80.
[12]
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449.
[13] Yūsuf
al-Qaradāwī, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain),
alih bahasa Yogi P. Izza, (Solo: Intermedia, 2001), hlm. 327.
[14] Ibid.
[15]
Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu’asirah), alih
bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), I: 21.
[16]
Istihsan dalam pengertian umum ialah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedang
menurut istilah ahli ushul, berarti pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan
qiyas jaliy (qiyas yang illatnya samar-samar yang ada pada pokok, yang kemudian
dipetik dari padanya), atau dalil kully kepada hukum lakhsis. Ini disebabkan
ada dalil yang menyebabkan mujtahid menyalahkan cara berpikirnya, dan
mementingkan pemindahannya. Karena itu jika terdapat suatu kejadian yang tidak
ada nas hukumnya, ada dua cara pembahasan yang berlawanan, yaitu: a) dari segi
zahir yang berkehendak adanya suatu hukum, dan b) dari segi zahir yang
berkehendak adanya suatu hukum lain. Dalam hal ini, pada diri mujtahid telah
terdapat dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafiy. Kemudian karena
berpindahnya kepada yang zahir (nyata), maka hal ini menurut syara', disebut
Istihsan. A. Hanafi, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1975), hlm. 142.
[17]
Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah kebaikan yang tersebar. Menurut istilah
adalah perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat
Islam atau untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan seperti kesempitan,
sedangkan tidak terdapat dalil syara' pun yang menunjukkan ada atau tidak
adanya hukum tersebut, Ibid.
[18]
Al-Maidah (5): 6.
[19]
Al-Baqarah (2): 185.
[20]
An-Nisa’ (4): 28.
[21]
Al-Imām Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hambal, (ttp.: Dar
al-Fikr, t.t.), IV: 417. Hadis dari Abu Burdah dari ayahnya dari kakeknya.
[22]
Ibrahim (14): 4.
[23] Yūsuf
al-Qaradāwī, Konsep dan Praktek Fatwa
Kontemporer, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, cet. I (Jakarta: Pustaka
al-Kaustar, 1996), hlm. 110.
[24]
Ishom Talimah, Manhaj Fiqh, hlm. 15.
[25] Yūsuf
al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer,
alih bahasa As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 235.
[26]
Al-Baqarah (2): 3
[27]
Al-Isra’ (17): 29.
[28] Yūsuf
al-Qaradāwī, Peran Nilai & Moral Dalam Perekonomian Islam, alih
bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 214.
[29]
Al-Baqarah (2): 195.
[30]
Al-Hadid (57): 10.
[31]
Al-Baqarah (2): 261, lihat juga ayat 245.
[32]
Al-Taubah (9): 34-35.
[33] Al-Baqarah
(2): 219.
[34]
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalānī, Fathul Bāri (Bi Syarhi Sahīh
al-Bukhārī), (ttp.: Salafiyah, t.t.), hlm. 294, hadis nomor 1426, “Kitāb
az-Zakāh,” “Bāb Lā Sadaqata Illā ‘an Zahri Ganiyyi.” Hadis ini sahih dan
diriwayatkan dari Abu Hurairah.
[35] Yūsuf
al-Qaradāwī, Fatawa Qardawi: Permasalahan, Pemecahan & Hikmah, alih
bahasa Abdurahman Ali Bauzir, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), hlm. 169.
[36]
Ibid,. hlm. 170.
[37]
Al-A’raf (7): 32.
[38]
Al-Baqarah (2): 236.
[39]
Yūsuf al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm. 157.
[40]
Al-Furqan (25): 67
[41]
Al-Waqi’ah (56): 42-45.
[42] Yūsuf
al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm 153.
[43]
Muslim, Jāmī’ as-Sahīh, (Beirut : Dar al-Fikr,
t.t.), V:135, “Kitāb al-Libās wa az-Zīnati,” “Bāb Tahrīm Isti’māl Inā’
az-zahabi wa al-Fidoh.” Menurut Turmuzi hadis ini hasan sahih, diriwayatkan
dari Ummi Salamah.
[44]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VII:45, “Kitāb
al-Libās,” “Bāb Iftirāsy al-Harīr.” Hadis ini diriwayatkan dari Khuzaifah.
[45] Yūsuf
al-Qaradāwī, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta:
Robbani Press, 1997), hlm. 278.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar