PENAFSIRAN AL-TABARI DAN AL-TABATABA'I TENTANG "IMAM"

Bookmark and Share



  1. Tinjauan Umum Kata "Imam"
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "imam" mengandung beberapa pengertian, diantaranya seperti: (1) pemimpin salat (pada salat yang dilakukan secara bersama-sama; (2) pemimpin atau kepala; (3) (dipakai sebagai gelar yang berarti) pemimpin atau penghulu; (4) pemimpin mazhab; (5) paderi yang mempersembahkan kurban Misa atau pemimpin upacara gereja; (6) paderi.[1]
Kata "imam" berasal dari kata "amma-ya'ummu", أم – يؤم , yang terdiri dari huruf hamzah, mim dan mim. Kata ini memiliki arti menuju, bermaksud kepada, menumpu, meneladani dan menyengaja. Dari akar kata yang sama juga muncul beberapa makna lain, diantaranya:[2]
1. Kata الأَم ُّ , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-fathah, mempunyai makna:
a. Pergi menuju, seperti ucapan Ka`ab ibn Malik:
انطلقت أتأمم رسول الله    (Saya pergi menuju rasul Allah U).
b.    Mengenai atau melukai otaknya, seperti pada kalimat: أصاب  أم  رأسه  .
2. Kata  الأُ مُّ, dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-dammah, bermakna ibu. Kata tersebut juga bisa berarti asal, pangkal, sumber, induk, tempat tinggal atau tempat kediaman. Bila di-idafah-kan dengan sebuah kata lain punya beberapa arti, misalnya: أم  الطريق  (jalan besar), أم  عريط (kalajengking), أم  البيض  (burung onta), أم  الحبر  (ikan gurita), أم  النجوم  (bintang bima sakti), أم  الرأس  (otak), أم  القرأن  (surat al-Fatihah), أم  الرمح  (bendera), أم  القوم  (kepala, pemimpin), أم  الكتاب  (al-Lawh al-Mahfud), dan seperti ungkapan: رأى بأم  عينه  (melihat dengan mata kepala sendiri).
3. Kata الأُ مَّةُ  , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-dammah, huruf mim tasydid yang di-fathah dan huruf akhir ta marbutah. Dalam bentuk jamak "أمم  "(umamun) mempunyai arti: saat, waktu, umat, rakyat, bangsa, dan juga beberapa makna lain, seperti: القامة  (tinggi badan), الوجه  (wajah, muka), النشاط  (ketangkasan), الطاعة  (taat, setia), jalan besar, dan juga bermakna: الرجل  الجامع  للخير  (seseorang yang terkumpul padanya kebaikan), من هو على  الحق  (orang yang berpegang pada kebenaran), الوطن  (tanah air). Namun ketika di-idafah-kan dengan kata lain memiliki beberapa arti yang berbeda, misalnya: مجلس الأمة  (majelis rendah), جمعية الأمم   (Liga Bangsa-Bangsa), هيئة  الأمم المتحدة  (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
4. Kata  الإِ مَّةُ  , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-kasrah, huruf mim tasydid yang di-fathah dan huruf akhir ta marbutah. Kata ini berarti: hal menjadi imam ata hal mengikuti imam (menjadi makmum) dan beberapa arti lain, seperti: الدين  (agama), النعمة  (kenikmatan), غضارة العيش  (kehidupan yang menyenangkan), الشأن و الحالة  (perkara, keadaan), atau dapat juga bermakna  الهيـئـة   (bentuk).
5. Kata الأُ مَمِيُّ , berarti internasional atau الوثني  (pemuja berhala).
6. Kata  الأُ مِّيُّ  , memiliki arti orang yang tidak dapat membaca dan menulis, atau bisa juga berarti: الغبي الجافى  (orang bodoh dan kasar), الأمية  (keibuan), atau الجهل  (kebodohan).
7. Kata الإِ مَامَةُ  , memiliki arti hal menjadi, sebagai imam atau bermakna الرئاسة  العامة  (imamah, khilafah).
8. Kata   الإِ مَامُ  , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-kasrah, dan penambahan huruf alif diantara dua huruf mim. Dalam bentuk jamak  أئـمـة  , yang berarti "imam". Kata ini juga memiliki beberapa makna, antara lain:
a. Pemimpin, قيم الأمر و المصلح له   (pemimpin sebuah urusan dan yang memperbaiki urusan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Q. s. al-Tawbah (9): 12.  فقاتلوا  أئمة  الكفر  (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu).
b. Setiap orang yang diikuti oleh sebuah kelompok masyarakat baik dalam kebenaran ataupun kesesatan.
c. Perumpaan atau contoh ( المثـال  ) atau sesuatu yang dipelajari  seorang siswa setiap hari. Seperti ungkapan:  حفظ الصبي  إمامه (seorang anak menghafal materi pelajarannya.
d. Penunjuk jalan bagi binatang (  الدليل ). Dapat dijumpai dalam kalimat, misal:  إمام  الإبل   (penunjuk jalan bagi onta).
e. Jalan ( الطريق ). Seperti dalam Q. s. al-Hijr (15): 79.  وإنهما لبإمام  مبين  (dan sesungguhnya keduanya berada pada jalan yang terang.
f. Arah kiblat ( تلقاء  القبلة  ).
g. Benang pelurus tukang batu (untuk meratakan bangunan). Sebagaimana dalam kalimat:  قوم  البناء على الإمام (Tegakkanlah atau luruskanlah bangunan tersebut dengan benang).
h. al-Quran al-Karim. Seperti ungkapan:  القرآن  إمام  المسلمين .
9. Kata الأَ مَامُ  , dengan huruf hamzah yang di-fathah, mempunyai arti di muka atau di hadapan). Seperti kata: أمام الرئيس (di hadapan kepala negara), إلى الأ مام  (ke depan).
10. Kata  الاَمَـمُ , berarti dekat atau perkara yang jelas.
            Didalam al-Quran, kata "imam" disebutkan sebanyak tujuh kali dalam bentuk mufrad dan lima kali dalam bentuk jamak.[3] Bentuk-bentuk kata "imam" tersebut memiliki beberapa versi makna, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan Terjemahnya, antara lain:[4]
1. Imam, sebagai jalan umum, seperti yang tersebut dalam Q. s. al-Hijr (15): 79  ( وإنهما  لمإمام  مبين  ).
2. Imam, sebagai Kitab Induk (al-Lawh al-Mahfud), surat Yasin (36): 12  (و كل شيء أحصيناه فى إمام  مبين  ).
3. Imam, sebagai gelar bagi seorang Nabi, terdapat pada: surat al-Baqarah (2): 124  ( قال  إنى جاعلك للناس  إماما ), surat al-Furqan (25): 74 (واجعلنا للمتقين إماما ).
4. Imam, sebagai kitab pedoman yang dipegang, disebutkan dalam: surat Hud (11): 17 (كتاب  موسى  إماما ورحمة  ), surat al-Ahqaf (46): 12 (كتاب  موسى  إماما ورحمة).
5. Imam, sebagai pemimpin yang diikuti sebuah kelompok masyarakat, sebagaimana terdapat dalam: surat al-Isra' (17): 71 ( يوم ندعو كل أناس بإمامهم ), al-Tawbah (9): 12 ( فقاتلوا  أئمة  الكفر ), al-Anbiya' (21): 73 ( وجعلناهم أئمة يهدون ), al-Qasas (28): 5 (ونجعلهم أئمة  ), dan ayat 41 (و جعلناهم أئمة يدعون  ), dan surat al-Sajdah (32): 24 (و جعلنامنهم أئمة يهدون  ).
Muhammad ibn Salih al-`Usaymin menjelaskan makna kata "imam" yang terdapat dalam hadis Nabi r, dari jalur sahabat Abu Hurayrah, untuk maksud seorang pemimpin sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat aturan perundangan berdasarkan syariat Islam, sebagaimana dalam hadis:[5]
حدثنا محمد بن بشّار قال  حدثنا  يحيى عن عبيد الله  قال  حدثنى خبيب بن عبد الرحمن  عن حفص بن عاصم عن أبى هريرة y, عن النبي r قال: سبعة  يظلهم  الله  فى ظله  يوم  لا  ظل  إلا  ظله:الإ مام  العادل, و شاب نشأ فى عبادة  الله, ورجل قلبه معلق فى المساجد, ورجلان تحاباّ فى الله, اجتمع عليه وتفرق عليه, ورجل دعته امرأة  ذات منصب وجمال, فقال:إنـى أخاف الله, ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه, ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه. (متفق عليه )

Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Basysyar, dia berkata: Telah meriwayatkan pada kami Yahya ibn `Ubayd Allah, dia berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Khubayb ibn `Abd al-Rahman dari Hafs ibn `Asim dari Abu Hurayrah t, dari Nabi r, beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang kelak Allah akan melindungi dalam naungan-Nya I pada hari dimana tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya I, (yaitu): seorang pemimpin yang adil, dan pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah I, dan seseorang yang hatinya selalu terpaut di masjid, dan dua orang yang saling mencintai karena Allah I, keduanya bertemu karena Allah I dan berpisah karena Allah I, dan laki-laki yang dirayu oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu dia berkata: "Sesungguhnya saya takut kepada Allah", dan seseorang yang bersedekah lantas dia menyembunyikan sedekahnya tersebut sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang mengingat Allah I dikala sepi sampai meneteskan air mata.

            Kata "imam" dalam hadis diatas ditafsirkan dalam definisi secara terminologi. Sehingga pembahasan "imam" sering dikaitkan dengan pembahasan "imamah" atau kepemimpinan religius-politis dalam masyarakat Muslim. Syarif al-Jurjani menerangkan makna "imam" sebagai orang yang menjalankan kepemimpinan umum dalam urusan agama maupun politik.[6] Menurut Imam al-Mawardi, "imam" atau "imamah" merupakan posisi pengganti kepemimpinan Nabi r yang mengemban tugas menjalankan kepemimpinan umum dan agama. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Najib al-Muti`i dan ibn Khaldun yang menguraikan makna "imamah" sebagai usaha membawa masyarakat agar kembali kepada tuntunan ajaran Islam untuk kemaslahatan dunia dan akherat, karena masalah-masalah duniawi harus kembali kepada Allah I dengan mempertimbangkan kemaslahatan akherat, dengan begitu, pada hakekatnya "imam" merupakan pembawa ajaran Islam agar dapat menjaga keutuhan agama dan mengelola urusan-urusan dunia.[7]
            Dari uraian di atas, ruang lingkup bahasan "imam" akan berkembang pada "khalifah", "wali" dan "amir al-mu'minin". Akan tetapi penulis membatasi obyek kajian dalam penelitian ini hanya pada ayat ayat-ayat yang terkait dengan term "imam" saja.

  1. Pandangan Penafsir tentang Makna "Imam"
1.      Penafsiran al-Tabari tentang Makna "Imam"
Abad ketiga Hijriyah dianggap sebagai zaman keemasan bagi penulisan hadis-hadis Nabi r. Karena pada masa ini telah lahir beberapa kitab hadis induk yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijadikan rujukan dalam pengambilan sumber rujukan ajaran Islam. Begitu juga dengan kitab tafsir yang ditulis oleh al-Tabari, Jami` al-Bayan `an Ta`wil Ayi al-Qur'an, dan menjadi rujukan penting bagi penafsir-penafsir setelahnya.
Dalam kitab tafsirnya, al-Tabari menafsirkan kata "imam" dengan beberapa versi makna yang berbeda. Secara umum dapat dikelompokkan sebagaimana berikut:
a.       Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan.
1)      Q. s. al-Tawbah (9): 12
و إن  نكثوا  أيمانهم  من  بعد عهد هم  وطعنوا  فى دينكم   فقاتلوا  أئـمة  الكفر  إنهم  لا  أيمان  لهم  لعلهم  ينتهون .

Jika mereka merusak  sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.

al-Tabari menafsirkan kata " أئـمة " dalam ayat ini  dengan " رؤساء الكفر " (pemimpin-pemimpin yang kafir) kepada Allah I. Kemudian al-Tabari menambahkan beberapa penjelasan tentang perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya pemimpin-pemimpin yang kafir tersebut dengan menukil beberapa riwayat, meskipun al-Tabari tidak memilih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut dan beliau cenderung membiarkan pendapat-pendapat yang ada dalam riwayat sebagaimana berikut ini:[8]
a)      Riwayat dari Ibn `Abbas
حدثنى محمد بن سعد قال, حدثنى أبى قال, حدثنى  عمى قال, حدثنى أبى, عن أبيه  عن ابن عباس  قوله:( و إن  نكثوا  أيمانهم  من  بعد عهد هم),إلى:( لعلهم  ينتهون), يعنى أهل العهد من المشركين, سماهم (  أئـمة  الكفر).

Meriwayatkan kepadaku Muhammad ibn Sa`d, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku bapakku, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku pamanku, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku bapakku, dari bapaknya dari Ibn `Abbas tentang firman Allah I: (Jika mereka merusak  sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (agar supaya mereka berhenti), maksudnya adalah "para juru runding perjanjian dari kaum musyrikin".

b)      Riwayat dari Qatadah
حدثنابشر قال, حدثنا يزيدقال, حدثنا سعيد, عن قتادة: ( و إن  نكثوا  أيمانهم  من  بعد عهد هم),إلى:(  ينتهون), فكان من أئمة الكفر: أبو جهل بن هشام, و أمية بن خلف, و عتبة  بن ربيعة, و أبو سفيان, و سهيل بن عمرو.
Meriwayatkan pada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan pada kami Sa`id, dari Qatadah: (Jika mereka merusak  sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (mereka berhenti), orang-orang yang termasuk dalam pemimpin-pemimpin yang kafir adalah: "Abu Jahl ibn Hisyam, Umayyah ibn Khalaf, `Utbah ibn Rabi`ah, Abu Sufyan dan Suhayl ibn `Amr".

c)      Riwayat dari al-Suddi
حدثنا القاسم قال, حدثنا الحسين قال, حدثنى حجاج  قال, حدثنا أسباط, عن السدى: ( و إن  نكثوا  أيمانهم  من  بعد عهد هم),إلى:(  ينتهون), هؤلاء  قريش.

Meriwayatkan kepada kami al-Qasim, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami al-Husayn, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku Hajjaj, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Asbat, dari al-Suddi: (Jika mereka merusak  sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (mereka berhenti), "mereka adalah orang-orang Quraysy".

d)     Riwayat dari al-Dahhak
حدثت عن الحسين بن الفرج  قال, سمعت أبا معاذ قال, حدثنا عبيد قال, سمعت الضحاك  يقول فى قوله: (فقاتلوا  أئـمة  الكفر),يعنى رؤساء المشركين, أهل مكة.
Saya telah meriwayatkan dari al-Husayn ibn al-Faraj, dia berkata: Saya mendengar Abu Mu`adz, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami `Ubayd, dia berkata: Saya mendengar al-Dahhak berkata tentang firman Allah I: (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu), maksudnya "pemimpin-pemimpin kaum musyrikin penduduk kota Mekah".

e)      Riwayat dari Huzayfah
حدثنا ابن وكيع قال, حدثنا أبو معاوية, عن الأعمش, عن زيد بن وهب, عن حذيفة: (فقاتلوا  أئـمة  الكفر), قال: ما قوتل  أهل هذه  الأية  بعد.
Meriwayatkan kepada kami Ibn Waki`, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Abu Mu`wiyah, dari al-A`masy, dari Zayd ibn Wahb, dari Huzayfah: (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu), dia berkata: "Pemimpin-pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini tidak dibunuh".

2)      Q. s. al-Isra' (17): 71
يوم   ندعوا   كل  أناس  بإمامهم   فمن  أوتي  كتابه  بيمينه   فأولئــك  يقرءون  كتابهم   ولا  يظلمون فتيلا.
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Ada perbedaan pendapat tentang makna "إمام  " dalam ayat ini. al-Tabari mengemukakan tiga penafsiran tentang maknanya dengan mengutip beberapa riwayat, yaitu:[9]
a)      Riwayat dari Mujahid
حدثنى  يحيى  بن  طلحة  اليربو عى, قال: ثنا فضيل, عن  ليث, عن  مجاهد (يوم   ندعوا   كل  أناس  بإمامهم) قال: نبيهم.

Meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Talhah al-Yarbu'i, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Fudayl, dari Lays, dari Mujahid: (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: "nabi mereka".

b)      Riwayat dari al-Hasan

حدثنا بشر, قال: ثنا يزيد,قال:ثنا سعيد, عن قتادة, عن  الحسن (يوم   ندعوا   كل  أناس  بإمامهم) قال: بأعمالهم.
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah, dari al-Hasan (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: "dengan amal perbuatan mereka".

حدثنا محمد, قال: ثنا محمد بن ثور,عن معمر,  عن قتادة, قال:قال  الحسن :بكتابهم  الذى  فيه  أعمالهم.
Meriwayatkan kepada kami Muhammad, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Saur, dari Ma`mar, dari Qatadah, dia berkata: al-Hasan mengatakan: yaitu "dengan buku yang di dalamnya terdapat catatan amal perbuatan mereka".

c)      Riwayat dari Yahya ibn Zayd
حدثنى  يونس, أخبرنا  ابن  وهب,قال:سمعت يحيى بن زيد فى قول الله I : (يوم   ندعوا  كل أناس بإمامهم)قال: بكتابهم الذى  أنزل  عليهم  فيه  أمر الله  و نهيه  و  فرائضه.
Meriwayatkan kepadaku Yunus, meriwayatkan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata: Saya mendengar Yahya ibn Zayd tentang firman Allah I: (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: yaitu "kitab suci yang telah diturunkan kepada mereka dan berisi perintah dan larangan serta aturan-aturan Allah".

Dari ketiga riwayat diatas, yang menguraikan makna " إمامهم " sebagai: nabi, amal perbuatan atau kitab suci mereka. Al-Tabari mengemukakan pandangannya, bahwa makna kata "إمام  " yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada hari itu Kami panggil setiap umat dengan pemimpin-pemimpin yang mereka ikuti dan mereka jadikan teladan selama di dunia. Karena pada umumnya, penggunaan kata "imam" dalam bahasa Arab  untuk menunjukkan kepada sesuatu atau seseorang yang diikuti atau dijadikan teladan. Menurutnya, mengarahkan makna-makna yang ada di dalam al-Quran kepada pendapat yang paling masyhur itu lebih baik selama belum ada pendapat yang bisa lebih mengkhususkan tafsiran makna kata tersebut.
3)      Q. s. al-Furqan (25): 74
و الذ ين  يقولون  ربنا  هب لنا من  أزواجنا  و ذرّيتنا  قرة   أعين  و اجعلنا للمتقين  إماما.

Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa".

Ada perbedaan penafsiran tentang maksud dari kata "imam" yang terdapat dalam ayat ini. al-Tabari menelusuri beberapa riwayat tentang perbedaan tersebut, riwayat-riwayat itu antara lain sebagai berikut:[10]
a)      Riwayat dari Ibn `Abbas
حدثنى علىّ, قال: ثنا أبو صالح, قال: ثنى معاوية, عن علىّ, عن ابن عباس, قوله:( و اجعلنا للمتقين  إماما) أئمة  التقوى  و لأهله  يقتدى  بنا.
Meriwayatkan kepadaku `Ali, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Abu Salih, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku Mu`awiyah, dari `Ali, dari Ibn `Abbas tentang firman Allah: (Dan jadikanlah kami pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa), maksudnya: "pemimpin-pemimpin yang kami jadikan teladan dari orang-orang yang bertakwa".

b)      Riwayat dari Mujahid
حدثنا ابن بشار, قال: ثنامؤمل, قال: ثنا ابن عيينة, عن ابن أبى نجيح, عن مجاهد فى قوله: (و اجعلنا للمتقين  إماما)قال: أئمة  نقتدى بمن قبلنا, و نكون أئمة لمن بعدنا.
Meriwayatkan kepada kami Ibn Basysyar, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Mu'mal, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Ibn `Uyaynah, dari Ibn Abu Najih, dari Mujahid tentang firman Allah: (Dan jadikanlah kami pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa) dia berkata: "Pemimpin-pemimpin yang kami jadikan panutan dari orang-orang sebelum kami dan kelak kami menjadi panutan bagi orang-orang setelah kami".

Kemudian al-Tabari menguraikan pendapatnya, bahwa yang dimaksud (و اجعلنا للمتقين  إماما ) yaitu: permintaan agar Allah I menjadikan diri kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa bukan menjadikan seorang pemimpin dari orang yang bertakwa sebagaimana pendapat Ibn `Abbas. Beliau menjelaskan dengan analisa kebahasaan, yang mengikuti pendapat sebagian ahli bahasa dari Kufah dan Basrah, mengenai kata " إماما " yang berbentuk isim mufrad (tunggal) namun mengandung makna jamak.
4)      Q. s. al -Qasas (28): 5
ونريد  أن  نمنّ  على  الذبن  استضعفوا فى الأرض  و نجعلهم  أئمة   ونجعلهم  الوارثين.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar'il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi).

Pada ayat ini, kata "  أئمة " diartikan sebagai pemimpin-pemimpin yang menguasai dan mengurus segala hal. Sebagaimana penafsiran Qatadah yang menyebutnya dengan " ولاة  الأمر ", para pemimpin yang berasal dari Bani Isra'il.[11]
5)      Q. s. al-Qasas (28): 41
وجعلنا هم  أئمة   يدعون  إلى النار  و يوم  القيامة  لا  ينصرون.
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.

Kata "أئمة  " pada ayat diatas, menurut al-Tabari, untuk menunjuk kepada pemimpin-pemimpin yang mengajak kepada kesesatan, mereka adalah Fir`aun dan kaumnya serta orang-orang yang mengikuti langkah mereka.[12]
6)      Q. s. al-Sajdah (32): 24
وجعلنا  منهم   أئمة   يهدون   بأمرنا  لماّ صبروا  و  كانوا  بأياتنا  يوقنون.
Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.

            Ayat ini secara gamblang menyatakan, pemimpin-pemimpin yang diikuti dan dijadikan teladan dari kaum Bani Isra'il, karena ketaatan mereka kepada Allah I dan keyakinan mereka kepada ayat-ayat-Nya I. Sebagaimana riwayat Qatadah menyebutkan:[13]
حدثنا  بشر, قال:ثنا يزيد, قال: ثنا سعيد, عن قتادة: (وجعلنا  منهم   أئمة   يهدون   بأمرنا) قال: رؤساء  فى  الخير.
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah: (Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami) dia berkata: "Pemimpin-pemimpin dalam kebaikan".

b.      Imam (atribut bagi seorang Nabi)
1)      Q. s. al-Baqarah (2): 124
و إذ ابتلى  ابراهيم  ربه  بكلمات  فأتمّهنّ  قال   إنـى جاعلك للناس  إماما  قال  و من ذريتى  قال  لاينال  عهدى  الظالمين.
Dan (ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".

Pengangkatan dan penetapan Allah I bagi Nabi Ibrahim u sebagai imam yang diikuti dan dijadikan panutan bagi manusia. al-Tabari mengemukakan bahwa gelar "imam" yang Allah berikan hanya diperuntukkan bagi wali-wali Allah dan orang yang taat pada-Nya, bukan untuk musuh-musuh Allah dan orang-orang kafir.[14]
2)      Q. s. al-Anbiya' (21): 73
و جعلنا هم  أئمة  يهدون  بأمرنا  و أوحينا  إليهم   فعل   الخيرات  و إقام   الصلاة   و  إيتاء   الزكاة  وكانوا  لنا  عابدين.
Dan Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah.

            Ketika menafsirkan makna kata " أئمة ", al-Tabari mengemukakan sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah, bahwa mereka adalah imam-imam yang diikuti dalam kebaikan dan ketaatan. Berdasarkan penjelasan ayat sebelumnya, nabi-nabi yang diberi gelar "imam" adalah Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub.[15]
Gelar "imam" bagi nabi-nabi Allah I, sebagaimana disebutkan pada dua ayat di atas, dalam pandangan al-Tabari menjadi atribut khusus bagi mereka karena menjadi panutan dan teladan manusia disebabkan perilaku mulia dan ketaatan kepada Allah I.
c.       Kitab pedoman bagi sebuah kaum.
1)      Q. s. Hud (11): 17
أ فمن  كان  على  بينة  من  ربـه  ويتلوه  شاهد  منه  ومن  قبله  كتاب  موسى  إماما و  رحمة  أولئــك  يؤمنون  به  و من  يكفر  به  من الأحزاب   فالنار  موعده   فلا  تك  فى  مرية  منه  إنه   الحق  من  ربك   ولكن  أكثر  الناس  لا  يؤمنون .
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum al-Qur'an itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat. Mereka itu beriman kepada al-Qur'an. Dan barangsiapa diantara mereka dan sekutunya yang kafir kepada al-Qur'an, maka nerakalah yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-Qur'an itu. Sesungguhnya (al-Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.[16]

2)      Q. s. al-Ahqaf (46): 12
ومن   قبله  كتاب  موسى  إماما و  رحمة   وهذا  كتاب  مصدق  لسانا  عربيا لينذر الذ ين  ظلموا  و  بشرى  للمحسنين.
Dan sebelum al-Qur'an itu telah ada kitab Musa sebagai pedoman dan rahmat. Dan ini (al-Qur'an) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa `Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.[17]

Pada dua ayat di atas, kata  "إماما " mempunyai makna untuk menunjuk sebuah kitab suci yang diturunkan Allah I kepada Nabi Musa u, yaitu kitab Taurat, sebagai pedoman bagi Bani Isra'il dan sebagai rahmat bagi mereka.
d.      Ummu al-Kitab
إنا  نحن  نحى  الموت  ونكتب  ما قدموا وئاثارهم   وكل  شىء  أحصيناه  فى  إمام  مبين.
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Ummu al-Kitab. [Q. s. Yasin (36): 12]

Mengomentari ayat di atas, al-Tabari mengemukakan, Ummu al-Kitab merupakan sebuah kitab yang di dalamnya berisi semua hal baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dan ini hanya dimiliki oleh Allah I.[18] Sebagaimana sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah berikut ini:
حدثنا  بشر, قال: ثنا يزيد, قال:  ثنا سعيد, عن قتادة,  قوله (وكل  شىء  أحصيناه  فى إمام  مبين)يقول  تعالى  ذكره:وكل  شىء كان أو هو كائن  أحصيناه, فأثبتناه  فى أم  الكتاب  وهو الإمام المبين.
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah tentang firman Allah: (Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam imam yang jelas), maksudnya: "Dan segala sesuatu baik yang telah terjadi atau akan terjadi kami kumpulkan, lalu kami tetapkan dalam Ummu al-Kitab dan itulah al-imam al-mubin.

e.       Jalan
Penafsiran al-Tabari terhadap kata "imam" dengan makna "jalan" hanya terdapat di satu tempat, yaitu pada surat al-Hijr (15): 79.
فانتقمنا  منهم  و إنهما  لبإمام  مبـين.
Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kota kaum Lut dan Aykah) itu benar-benar terletak di jalan yang jelas.

Jalan yang dimaksud dalam ayat ini adalah jalan yang dipergunakan oleh sebuah kaum dalam perjalanan mereka. Sebagaimana Qatadah mengemukakan hal tersebut.[19]
حدثنى  يونس, قال: أخبرنا  ابن وهب, قال: أخبرنا  عمرو بن الحارث, عن سعيد بن أبي هلال, عن عمرو بن عبد الله, عن قتادة, أنه قال: (وإنهما): و إنّ مدينة   أصحاب الأيكـة, ومدينة قوم  لوط,(لبإمام): لبطريق   يأتمون به  فى سفرهم  و يهتدون  به.
Meriwayatkan kepadaku Yunus, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami `Amr ibn al-Haris, dari Sa`id ibn Abi Hilal, dari `Amr ibn `Abd Allah, dari Qatadah, dia berkata: (Dan sesungguhnya kedua kota itu): yaitu kota penduduk Aykah dan kota kaum Lut, (sungguh terletak di jalan): yaitu jalan yang mereka jadikan arah dan pedoman dalam perjalanan mereka.

            Berdasarkan semua uraian di atas, penafsiran al-Tabari terhadap kata  "إمام" yang terdapat di dalam al-Qur'an dapat dikelompokkan ke dalam beberapa versi makna, yaitu: a) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan, terdapat pada: [Q. s. al-Tawbah (9): 12], [Q. s. al-Isra' (17): 71], [Q.s. al-Furqan (25): 74], [Q. s. al- Qasas (28): 5 dan 41], [Q. s. al-Sajdah (32): 24]; b) Imam (atribut bagi seorang nabi), terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124], [Q. s. al-Anbiya' (21): 73]; c) Kitab pedoman bagi sebuah kaum, terdapat pada: [Q. s. Hud (11): 17] dan [Q. s. al-Ahqaf (46): 12]; d) Ummu al-Kitab, terdapat pada [Q. s. Yasin (36): 13; dan juga bermakna; e) Jalan, sebagaimana terdapat pada [Q. s. al-Hijr (15): 79].

    1. Penafsiran al-Tabataba'i tentang Makna "Imam"
Dalam pandangan Syi`ah, imam atau imamah, termasuk tema pokok dari ajaran ini dan menjadi salah satu dari rukun iman yang jika seseorang mengingkari hal ini maka berarti orang tersebut telah meninggalkan ke-Islaman-nya.[20]
al-Tabataba'i, sebagai salah seorang mufassir dari kalangan Syi`ah, memiliki pandangan-pandangan yang begitu kental dengan latar belakang teologisnya. Dalam kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, dibahas secara panjang lebar tema "imam". Menurutnya, sebuah organisasi yang ditegakkan di sebuah negeri untuk mengatur masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan tidaklah berjalan secara otomatis. Selama tidak ada individu-individu yang memiliki kemampuan mengelola, maka organisasi tersebut tidak akan bisa hidup, dan masyarakat tidak akan menikmati buah pemerintahan yang baik. Posisi kepemimpinan dalam masalah-masalah kea gamaan dan masyarakat Islam dikenal dengan istilah "imamah" dan pemegang posisi tersebut dinamakan "imam".[21]
Di antara makna "imam", sebagaimana dikemukakan al-Tabataba'i, untuk maksud seorang pengganti Nabi e dalam mengemban risalah menegakkan budaya dan hukum-hukum agama dan membimbing umat manusia di jalan kebenaran. Secara umum penafsiran al-Tabataba'i terhadap kata "imam" di dalam al-Qur'an dapat dikelompokkan dalam beberapa versi makna, antara lain:
a.       Kitab pedoman bagi sebuah kaum.
Di dalam al-Qur'an ada dua ayat yang memiliki susunan redaksi sama yang menyebut kata "إماما  " dengan makna kitab pedoman bagi sebuah kaum,  sebagaimana disebutkan pada surat Hud (11): 17[22] dan surat al-Ahqaf (46): 12:[23] (ومن  قبله  كتاب  موسى  إماما و  رحمة   ).
Kata "إماما  " pada potongan ayat di atas, berkedudukan sebagai hal[24] untuk menjelaskan posisi Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa u dan dijadikan pedoman dan petunjuk setiap amal perbuatan kaum Bani Isra'il.
b.      Jalan yang jelas
Menurut al-Tabataba'i, kata " إمام " yang terdapat pada al-Qur'an surat al-Hijr (15): 79, berarti jalan yang jelas (فانتقمنا  منهم  و إنهما  لبإمام  مبـين ).
Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kota kaum Lut dan Aykah) itu benar-benar terletak di jalan yang jelas.

Allah I menjelaskan perilaku buruk dan kezaliman yang dilakukan penduduk kota Ashab al-Aykah, sebutan bagi kaum Nabi Syu`ayb u dan kaum Nabi Lut u, lalu Allah I membinasakan mereka semua. al-Tabataba'i mengemukakan bahwa letak kedua kota tersebut berada di sepanjang jalan antara kota Madinah dan negeri Syam.[25]
c.       al-Lawh al-Mahfud
Di dalam al-Qur'an surat Yasin (36): 12, disebutkan kata " إمام " yang ditafsirkan dengan makna al-Lawh al-Mahfud, yang merupakan sebuah kitab berisi ketetapan-ketatapan Allah I bagi makhluk-Nya I dan segala hal yang ada di alam semesta ini. Menurut al-Tabataba'i, kitab ini juga memiliki beberapa nama lain seperti: Ummu al-Kitab, al-Kitab al-Mubin, atau al-Imam al-Mubin. Namun al-Tabataba'i menolak pendapat yang menafsirkan kata  " إمام " dengan makna "catatan amal perbuatan manusia" atau pendapat yang menyatakan bahwa " الإمام المبين " adalah pengetahuan Allah yang terdahulu, karena dua pandangan ini tidak sesuai dengan sifat al-Lawh al-Mahfud, sebagaimana yang telah beliau kemukakan.[26]
d.      Contoh dalam kebaikan
Pada surat al-Furqan (25): 74, (و اجعلنا للمتقين  إماما ), al-Tabataba'i menerjemahkan kata "imam" dengan makna "contoh". Tema ayat ini mengisahkan sifat orang-orang yang mendapat kemuliaan, mereka memohon agar Allah I menjadikan mereka sebagai contoh bagi orang-orang bertakwa dalam hal mencari kebaikan dan rahmat Allah Y, sehingga orang-orang bertakwa tersebut mau mengikuti mereka.[27]
Sebuah qira'at yang berasal dari ahl al-Bayt menyebutkan redaksi yang berbeda,  و اجعل لنا من المتقين  إماما (Dan jadikanlah untuk kami seorang (figur) contoh dari orang-orang yang bertakwa). Namun, menurut al-Tabataba'i, qira'at ini dianggap tidak masyhur di kalangan umat Islam.[28]          
e.       Yang awal atau depan
1)      Q. s. al-Tawbah (9): 12
Orang-orang yang awal atau lebih dahulu dalam bersikap kafir dengan apa yang telah Allah Y, inilah makna kata " أئمة " yang dipergunakan al-Tabataba'i ketika membahas ayat yang terdapat pada surat ini.
و إن  نكثوا  أيمانهم  من  بعد عهد هم  وطعنوا  فى دينكم   فقاتلوا  أئـمة  الكفر  إنهم  لا  أيمان  لهم  لعلهم  ينتهون .

Jika mereka merusak  sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah orang-orang yang paling awal pada kekafiran, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.

Dalam ayat ini, Allah Y menggunakan kata " أئمة  الكفر " bagi orang-orang yang paling awal atau terdahulu dalam ke-kufur-an kepada ayat-ayat Allah Y sehingga orang-orang mengikuti jejak mereka dalam kekafiran. Perintah untuk membunuh mereka dimaksudkan sebagai upaya untuk mengehentikan perilaku buruk mereka berupa melanggar janji dan kesepakatan yang telah dibuat.
al-Tabataba'i menyebutkan beberapa riwayat, di antaranya yang berasal dari `Ali ibn Abi Talib tentang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok " أئمة  الكفر " :
 و  فى أمالى  المفيد  بإسناده  عن أبى  عثمان  مؤذن  بنى قصي قال: سمعت  علىبن أبى طالب u حين  خرج   طلحة  والزبير  على قتاله: عذرنى الله  من طلحة  والزبير, بايعاني  طائعين غير  مكرهين  ثم  نكثا  بيعتى  من  غير حدث حدثته ثم  تلا  هذه  الأية: (و إن  نكثوا  أيمانهم  من  بعد عهد هم  وطعنوا  فى دينكم   فقاتلوا  أئـمة  الكفر  إنهم  لا  أيمان  لهم  لعلهم  ينتهون ).
Dalam kitab Amali al-Mufid dengan sanadnya dari Abu `Usman, muazzin Bani Qusay berkata: Saya mendengar `Ali ibn Abi Talib, ketika Talhah dan al-Zubayr akan membunuhnya, berkata: Allah telah memperingatkan saya tentang Talhah dan al-Zubayr, keduanya telah ber-bay`at untuk taat dan tidak melanggarnya tapi kemudian keduanya merusak bay`at tanpa memberitahukan sebagaimana aku telah mengatakannya, kemudian membaca ayat ini: (Jika mereka merusak  sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah orang-orang yang paling awal pada kekafiran, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti).

2)      Q. s. al-Qasas (28): 41
Menurut al-Tabataba'i, makna kata " أئمة " pada ayat ini adalah orang-orang yang paling awal dan terdahulu dalam kesesatan dan diikuti oleh orang-orang setelahnya dalam perilaku kafir serta berbuat maksiat kepada Allah U. al-Tabataba'i mengutip sebuah riwayat dari kitab al-Kafi,[29] sebagaimana berikut:[30]
عن  طلحة  بن  زيد  عن أبي عبد الله  u  قال:  إنّ  الأئمة  في  كتاب الله  U إمامان. قال الله U : (و جعلنا هم  أئمة  يهدون  بأمرنا  )لا بأمر  الناس  يقدمون  أمر  الله قبل  أمرهم و حكم الله  قبل  حكمهم. قال: (وجعلنا هم  أئمة   يدعون  إلى النار  ) يقدمون أمرهم  قبل  أمر  الله   و حكمهم  قبل  حكم  الله  و يأخذون   بأهوائهم  خلاف  ما فى كتاب  الله U.
Dari Talhah ibn Zayd, dari Abu `Abd Allah u dia berkata: Sesungguhnya imam di dalam al-Qur'an terbagi dua. Allah berfirman: (Dan Kami jadikan imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami) bukan dengan perintah manusia, mereka mendahulukan perintah Allah daripada perintah manusia dan hukum Allah daripada hukum manusia. Dia berkata: (Dan Kami jadikan mereka imam-imam yang menyeru (manusia) ke neraka) mereka mendahulukan perintah manusia daripada perintah Allah dan hukum manusia daripada hukum Allah dan menggunakan hawa nafsu mereka yang menyelisihi al-Qur'an.

f.       Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan dan keburukan
Dalam kitab tafsirnya, al-Tabataba'i menafsirkan kata "imam" dengan makna pemimpin yang diikuti apakah dalam kebaikan ataupun keburukan, pada tiga ayat yang berbeda, yaitu:
1)      Q. s. al-Isra' (17): 71
يوم   ندعوا   كل  أناس  بإمامهم   فمن  أوتي  كتابه  بيمينه   فأولئــك  يقرءون  كتابهم   ولا  يظلمون فتيلا.
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
     
Yang dimaksud kata إمام  , dalam ayat ini adalah pemimpin. Pada hari kiamat, Allah U akan memanggil setiap manusia bersama orang-orang yang mereka jadikan pemimpin. Ada dua tipe pemimpin yang dijadikan panutan, yaitu pemimpin dalam kebaikan dan pemimpin dalam kesesatan. al-Tabataba'i  menolak pendapat yang menafsirkan kata "imam" dalam ayat ini dengan makna nabi yang menjadi pemimpin setiap umat, karena seseorang yang dijadikan panutan bukan hanya dalam kebenaran tapi juga bisa dalam kesesatan.[31]
Ada beberapa versi penafsiran dalam memahami kata "imam" dalam ayat ini, antara lain:
a)Kitab suci yang dijadikan pedoman, seperti Taurat, Injil dan al-Qur'an.
b)      Nabi atau setan, jika nabi mengajak di jalan yang benar maka setan mengajak pada kesesatan.
c)Buku catatan amal perbuatan manusia.
d)     Ibu-ibu mereka, karena kata إمام  dengan kata الأم (ibu), memiliki akar kata yang sama.
e)Segala sesuatu yang diikuti baik dalam kebenaran ataukah kesesatan. Makan ini lebih bersfat umum, karena apa saja yang diikuti maka dia lah yang akan menjadi "imam", seperti: nabi, wali, setan, agama, buku yang dijadikan pedoman ataupun pola hidup yang dijalani.
Uraian di atas menggambarkan keluasan pemahaman al-Tabataba'i tentang penafsiran-penafsiran yang berbeda pada sebuah ayat. Namun demikian, al-Tabataba'i cenderung memahami makna "imam" dalam ayat ini dengan makna pemimpin yang diikuti. Hal ini sesuai dengan riwayat yang berasal dari jalur sanad Ahl al-Bayt:
عن إسماعيل بن  همام  عن أبي  عبد الله  u  فى قول الله: (يوم   ندعوا   كل  أناس  بإمامهم ) فال: إذا  كان  يوم  القيامة   قال  الله:أليس  العدل  من  ربكم  أن  يولوا كل  قوم  من  تولوا ؟ قالوا: بلى.  فيقول: تميزوا  فيتميزوا.
Dari Isma`il ibn Hammam, dari Abu `Abd Allah tentang firman Allah: (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka) dia berkata: Pada hari kiamat kelak, Allah berkata: Bukankah keadilan itu dari Tuhan kamu semua agar setiap kamu menyerahkan urusan pada orang yang memimpin mereka? Mereka menjawab: Benar. Maka Allah berkata: Berpencarlah kamu semua, maka mereka berpencar secara berkelompok.

            Panggilan Allah pada hari kiamat tidak hanya memanggil nama-nama pemimpin mereka saja, namun juga menghadirkan pemimpin-pemimpin tersebut.
2)      Q. s. al-Qasas (28): 5
ونريد  أن  نمنّ  على  الذبن  استضعفوا فى الأرض  و نجعلهم  أئمة   ونجعلهم  الوارثين.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar'il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi).

            Menurut al-Tabataba'i, kata " أئمة " pada ayat ini untuk menunjuk pemimpin-pemimpin yang dipilih Allah U bagi orang-orang yang tertindas (Bani Isra'il). Karunia yang diberikan Allah bagi kaum Bani Isra'il berupa kenikmatan dan keselamatan dari penindasan Fir`awn dan bala tentaranya.[32]
            Sebuah riwayat yang berasal dari kalangan Syi`ah menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat ini:[33]
 عن  محمد  بن سنان  عن  المفضل بن عمر  قال: سمعت  أبا  عبد  الله u  يقول: إنّ  رسول الله r  نظر  إلى  على والحسن  والحسين عليهم  السلام  فبكى  وقال: أنتم  المستضعفون  بعدى. قال  المفضل: فقلت له: ما معنى  ذلك؟ قال: معناه  أنكم الأئمة بعدى, إنّ الله U يقول:( ونريد  أن  نمنّ  على  الذبن  استضعفوا فى الأرض  و نجعلهم  أئمة   ونجعلهم  الوارثين) فهذه  الآية  جارية  فينا  إلى  يوم  القيامة.
Dari Muhammad ibn Sinan, dari al-Mifdal ibn `Umar, dia berkata: Saya mendengar Abu `Abd Allah berkata: Sesungguhnya rasul Allah melihat kepada `Ali, al-Hasan dan al-Husayn lalu dia menangis seraya berkata: Kamu semua adalah orang-orang yang tertindas pada masa setelahku. Al-Mifdal berkata: Saya bertanya kepada Abu `Abd Allah: Apa maksud hal tersebut? Dia menjawab: Maksudnya kamu semua menjadi imam-imam setelahku, karena Allah berfirman: (Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar'il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi)), dan ayat ini berlaku bagi kami sampai hari kiamat.

            Dalam riwayat di atas, al-Tabataba'i menambahkan penafsiran dari kalangan Ahl al-Bayt, bahwa ada imam-imam dari kalangan Syi`ah yang mendapatkan penindasan namun mereka dipilih Allah untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang diikuti.
3)      Q. s. al-Sajdah (32): 24
Senada dengan bahasan yang terdapat pada surat al-Qasas (28): 5. Dalam ayat ini, al-Tabataba'i mengemukakan tentang pengangkatan pemimpin yang mengajak kaumnya kepada kebaikan. Karena Allah akan menjadikan pemimpin-pemimpin yang berasal dari kalangan mereka sendiri (Bani Isra'il), yaitu pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat sabar dan memegang keyakinannya dengan ayat-ayat Allah U.
وجعلنا  منهم   أئمة   يهدون   بأمرنا  لماّ صبروا  و  كانوا  بأياتنا  يوقنون.
Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.

g.      Gelar "imam", bagi nabi-nabi dan penerus risalah kenabian
1)      Q. s. al-Baqarah (2): 124
Dalam ayat ini, Allah Y menjelaskan tentang ujian-ujian kepada Nabi Ibrahim u, sebagaimana disebutkan dengan menggunakan redaksi: و إذ ابتلى  ابراهيم  ربه  بكلمات   (Dan (ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)). Di antara ujian yang dibebankan kepada Nabi Ibrahim antara lain: membangun Ka'bah, membersihkan Ka'bah dari kesirikan, mengorbankan Isma`il, dan menghadapi raja Namruz. Kemudian diikuti dengan kata " فأتمهنّ " yang membuktikan selesainya semua ujian yang dibebankan kepada Nabi Ibrahim tersebut.
Menurut al-Tabataba'i, ayat ini menjadi tanda tentang anugerah Allah Y kepada Nabi Ibrahim berupa pemberian status "imam". Gelar ini diperoleh Ibrahim u Ibrahim pada masa-masa akhir dari kehidupannya, yaitu setelah kelahiran Isma'il dan Ishaq serta mereka tinggal di Mekah. Sehingga susunan redaksi ayat tersebut menyatakan:
 قال   إنـى جاعلك للناس  إماما  قال  و من ذريتى 
Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi manusia. Ibrahim berkata: (Dan Saya mohon juga) dari keturunanku.


            Kata "إماما   " sebagai gelar bagi nabi karena dijadikan teladan dan manusia mengikuti dan malaksanakan ajaran-ajaran yang disampaikan Nabi Ibrahim u.[34]
            Dalam bahasan "imam" ini, al-Tabataba'i merumuskan beberapa hal penting yang menjadi keyakinan kalangan Syi`ah, rumusan tersebut antara lain:[35]
a)      Gelar "imam" merupakan pemberian dari Allah.
b)      Seorang "imam" wajib bersifat ma`sum (terbebas dari dosa dan maksiat).
c)      Selama manusia berada di muka bumi, keberadaan seorang "imam" merupakan sebuah keniscayaan.
d)     Seorang "imam" ditentukan oleh Allah.
e)      Seorang "imam" dapat mengetahui perbuatan-perbuatan manusia.
f)       "Imam" perlu mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akherat.
g)      Seorang "imam" harus melebihi manusia biasa dalam keutumaan moral.
Uraian di atas menegaskan bahwa maqam tertinggi dari seorang manusia adalah ketika dia menjadi seorang "imam". al-Tabataba'i menyebutkan sebuah riwayat yang berasal dari Ja`far al-Sadiq, salah seorang "imam" kalangan Syi`ah, sebagaimana berikut:[36]
عن  الصادق u : إنّ  الله  Y اتخذ  إبراهيم  عبدا قبل  أن يتخذه  نبيا, و إنّ الله  اتخذه  نبيا قبل  أن  يتخذه  رسولا, و إنّ الله  اتخذه   رسولا قبل  أن  يتخذه  خليلا, و إنّ الله  اتخذه  خليلا قبل  أن  يتخذه  إماما, فلما  جمع  له  الأشياء  قال: (  إنـى جاعلك للناس  إماما) قال u: فمن  عظمها  فى عين  إراهيم  قال: (  و من ذريتى  قال  لا  ينال  عهدى  الظالمين)  قال: لا  يكون  السفيه  إمام  التقيّ.
Dari al-Sadiq: Sesungguhnya Allah menjadikan Ibrahim sebagai hamba sebelum menjadikannya seorang nabi, dan Allah menjadikannya nabi sebelum menjadikannya seorang rasul, lalu Allah menjadikannya rasul sebelum menjadikannya seorang kekasih, kemudian Allah menjadikannya kekasih sebelum menjadikannya seorang  imam, dia berkata: (Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu seorang imam bagi manusia), dan inilah (status "imam") yang terbesar dalam diri Ibrahim, al-Sadiq berkata: (Dan dari anak keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim) orang bodoh tidaklah menjadi imam bagi orang yang bertakwa.

2)      Q. s. al- Anbiya' (21): 73
Kata " أئمة " dalam ayat ini, merupakan bentuk pernyataan Allah bahwa Dia akan mengangkat nabi-nabi sebagai "imam" yang diikuti dan dijadikan teladan. Khususnya adalah nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub, sebagaimana disebutkan dalam redaksi ayat:[37]
وجعلناهم   أئمة   يهدون   بأمرنا
Dan Kami menjadikan mereka (Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub) sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami. 

Redaksi ayat "  يهدون   بأمرنا" yang disebutkan setelah kata "   أئمة " menjelaskan keberadaan imam-imam yang ditunjuk Allah, ketika melakukan aktivitas kebaikan memperoleh hidayah langsung dari Allah, sehingga seorang "imam" pasti bersifat ma`sum dari kesesatan dan dosa-dosa maksiat.[38]
            Berdasarkan semua uraian di atas, penafsiran al-Tabataba'i terhadap kata  "إمام", baik dalam bentuk tunggal maupun jamak, yang terdapat di dalam al-Qur'an dapat dikelompokkan ke dalam beberapa versi makna, yaitu: a) Kitab pedoman sebuah kaum, terdapat pada: [Q. s. Hud (11): 17] dan [Q. s. al-Ahqaf (46): 12]; b) Jalan yang jelas, terdapat pada: [Q. s. al-Hijr (15): 79]; c) al-Lawh al-Mahfud, terdapat pada: [Q. s. Yasin (36): 12]; d) Contoh dalam kebaikan, terdapat pada: [Q. s. al-Furqan (25): 74]; e) Yang awal atau depan, terdapat pada: [Q. s. al-Tawbah (9): 12] dan [ Q. s. al-Qasas (28): 41]; f) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan, terdapat pada: [Q. s. al-Isra' (17): 71], [Q. s. al-Qasas (28): 5] dan [Q. s. al-Sajdah (32): 24]; g) Gelar "imam" , bagi nabi-nabi dan penerus risalah kenabian, terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124] dan [Q. s. al-Anbiya' (21): 73].

  1. Analisa Komparatif Penafsiran "Imam"
Penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang di dalamnya terdapat kata "imam" dari dua mufassir dengan latar belakang pola pemikiran yang berbeda menghasilkan pandangan-pandangan yang sama di satu sisi, namun di sisi lain memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut di antaranya disebabkan oleh perbedaan orientasi penafsiran yang berbeda atau kerena terpengaruh dengan spesialisasi keilmuan sang mufassir.[39]
Melihat begitu luasnya ruang lingkup dan wilayah kajian yang akan dibahas. Penelitian ini berusaha menganalisa persamaan dan perbedaan penafsiran Muhammad ibn Jarir al-Tabari dan Muhammad Husayn al-Tabataba'i terhadap ayat-ayat yang menyebutkan kata "imam".
1.      Persamaan Penafsiran "Imam" antara al-Tabari dan al-Tabataba'i
a.       Persamaan dari Aspek Metode Penafsiran
Dua karya tafsir besar, Muhammad ibn Jarir al-Tabari dengan karyanya Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ayi al-Qur'an dan Muhammad Husayn al-Tabataba'i dengan karyanya al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, memiliki beberapa persamaan. Keduanya menggunakan metode penafsiran yang sama yaitu metode tahlili,[40] namun keduanya memiliki orientasi dan corak penafsiran yang berbeda, maka hasil penafsirannya pun berbeda.
Persamaan yang lain, misalnya dalam penggunaan riwayat dan penjelasan tata bahasa, namun dengan porsi yang berbeda. Sebagian besar penafsiran al-Tabari dengan mengutip riwayat-riwayat yang berasal dari sahabat atau generasi sesudahnya. Sedangkan al-Tabataba'i hanya memilih riwayat-riwayat yang mutawatir dari Nabi e atau imam-imam Ahl al-Bayt.
b.      Persamaan dari Aspek Substansi Penafsiran
Ada persamaan dari aspek substansi antara penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i terhadap kata "imam" di dalam al-Qur'an. Persamaan tersebut ada pada beberapa ayat, antara lain:
1)      Q. s. Yasin (36): 12
Ketika menguraikan makna "imam" yang terdapat dalam ayat ini, baik al-Tabari dan al-Tabataba'i menerjemahkannya dengan sebuah kitab yang memuat dan mencatat segala sesuatu di alam semesta ini dan hanya dimiliki Allah U. Kitab tersebut dinamakan Ummu al-Kitab atau al-Lawh al-Mahfud.
2)      Q. s. al-Hijr (15): 79
Kedua mufassir sama-sama menafsirkan kata "imam" yang terdpat dalam ayat ini dengan makna "jalan". Jalan yang menunjukkan letak keberadaan kota penduduk Ashab al-Aykah dan kota kaum Nabi Lut u.
3)      Q. s. Hud (11): 17 dan Q. s. al-Ahqaf (46): 12
Baik al-Tabari maupun al-Tabataba'i menafsirkan "imam" pada ayat ini dengan makna "pedoman". Sebuah kitab pedoman yang diturunkan kepada Nabi Musa u, yaitu kitab al-Taurat.
4)      Q. s. al-Isra (17): 71; Q. s. al-Qasas (28): 5 dan Q. s. al-Sajdah (32): 24
Makna kata "imam" yang terdapat pada ketiga ayat ini adalah "pemimpin". Namun, yang terdapat pada surat al-Isra (17): 71, disifati dengan pemimpin yang diikuti oleh sebuah kaum baik dalam kebenaran atau kesesatan. Sedangkan dua ayat yang lain, baik al-Tabari maupun al-Tabataba'i, menjelaskan tentang pemimpin dalam kebaikan yang Allah Y tunjuk dari kaum Bani Isra'il.
Berdasarkan uraian di atas, al-Tabari dan al-Tabataba'i memiliki kesamaan pandangan ketika menafsirkan kata "imam" dan bentukannya yang terdapat dalam al-Qur'an pada tujuh ayat, yaitu "imam" yang bermakna: Ummu al-Kitab, jalan, kitab pedoman dan pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan.
Adanya persamaan pandangan kedua mufassir dilatarbelakangi oleh kesamaan ayat-ayat yang dibahas dan secara kebetulan akar permasalahan yang diangkat juga sama meskipun cara pengungkapannya sedikit berbeda sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pola pikir masing-masing.
2.      Perbedaan Penafsiran "Imam" antara al-Tabari dan al-Tabataba'i
a.       Perbedaan dari Aspek Metode Penafsiran
Dari pembahasan mengenai makna "imam" menurut penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i, disamping  ada kesamaan penafsiran tetapi ada beberapa perbedaan yang nyata antara kedua mufassir tersebut.
al-Tabari, seorang mufassir dari generasi salaf berbeda dengan al-Tabataba'i yang termasuk dalam mufassir generasi khalaf. Dalam kitab tafsirnya, Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ayi al-Qur'an, al-Tabari menggunakan metode tahlili yang menafsirkan al-Qur'an berdasarkan susunan mushafi. Orientasi penafsiran yang dipergunakannya merupakan gabungan orientasi penafsiran bi al-ma'sur dan bi al-ra'y, meskipun orientasi penafsiran bi al-ma'sur lebih dominan.
Penggunaan riwayat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an menjadi salah satu kekhasan al-Tabari dibandingkan dengan ulama-ulama tafsir yang lain. Ketika menyajikan riwayat, al-Tabari selalu menyebutkan jalur periwayatan secara lengkap dan berurutan meskipun sikapnya terhadap riwayat yang dia kutip berbeda-beda. Terkadang al-Tabari memberikan kritikan, penilaian serta analisanya terhadap riwayat tersebut, atau memilih dari beberapa riwayat yang sekiranya bertentangan, namun tidak jarang al-Tabari seolah-olah membiarkan riwayat-riwayat tersebut. Sikap kritis al-Tabari terhadap  sebagian riwayat yang diterimanya ini, terutama bila riwayat-riwayat itu berkaitan dengan persoalan yaang bertentangan dengan prinsipnya.[41] Dari dua belas ayat di dalam al-Qur'an yang menyebutkan kata "imam", pada sembilan ayat al-Tabari menafsirkannya dengan menggunakan riwayat.
Dalam pandangan al-Tabari, tafsir yang baik haruslah memperhatikan apa yang disampaikan sahabat Nabi e dan generasi-generasi sesudahnya, sehingga rujukan riwayat yang sering dipergunakan al-Tabari adalah riwayat yang berasal dari generasi-generasi tersebut. Misalnya: Ibn `Abbas,[42] Qatadah,[43] Mujahid,[44] al-Dahhak, Huzayfah, al-Hasan al-Basri,[45] dan Bisyr.
Namun demikian, bukan berarti al-Tabari meninggalkan ra'y sama sekali. Beliau juga menggunakan ra'y ketika menafsirkan al-Qur'an, misalnya ketika menafsirkan "imam" yang terdapat pada surat Hud (11): 17 dan surat al-Ahqaf (46): 12 dengan menggunakan analisa bahasa. al-Tabari menguraikan bahwa kata "imam" pada dua ayat ini dalam bentuk mansub karena sebagai hal untuk menjelaskan kitab al-Tawrat yang menjadi pedoman bagi kaum Bani Isra'il. Contoh yang lain adalah ketika ia memilih pendapat yang paling tepat dalam pandangannya dengan menggunakan analisa bahasa dari tiga riwayat yang berbeda dalam menafsirkan kata "imam" pada surat al-Isra (17): 71.
Adapun kitab tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an karya Muhammad Husayn al-Tabataba'i merupakan tafsir dari generasi khalaf, dengan orientasi bi al-ra'y dan bercorak al-falsafi. Hal ini terlihat ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, al-Tabataba'i sering membuat bab khusus berjudul "Bahsun Falsafi" pada setiap kumpulan beberapa ayat yang dia tafsirkan.[46]
Dengan latar belakang teologisnya yang Syi`ah, al-Tabataba'i banyak memasukkan pandangan-pandangan Syi`ahnya ketika menafsirkan al-Qur'an. Misalnya ketika menguraikan makna "imam" yang terdapat pada surat al-Baqarah (2): 124, secara panjang lebar beliau menjelaskan hal-hal yang terkait dengan imam dalam pandangan Syi`ah yaitu imam-imam Ahl al-Bayt.
Penyajian riwayat juga dilakukan al-Tabataba'i, selama riwayat tersebut berasal dari Nabi e atau imam-imam kalangan Syi`ah.[47] Seperti penafsiran yang terdapat pada: [Q. s. Yasin (36): 12], [Q. s. al-Qasas (28): 5 dan 41], [Q. s. al-Isra (17): 71] dan [Q. s. al-Baqarah (2): 124].
Penguasannya terhadap ilmu Bahasa Arab juga terlihat ketika beliau berusaha menguraikan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan analisa bahasa. Seperti yang terdapat pada surat Hud (11): 17 dan surat al-Ahqaf (46): 12.
b.      Perbedaan dari Aspek  Substansi Penafsiran
Perbedaan pandangan antara al-Tabari dan al-Tabataba'i dari aspek substansi penafsiran dapat dikaji pada ayat-ayat berikut:
1)      Q. s. al-Baqarah (2): 124
Dalam ayat ini, al-Tabari menjelaskan tentang gelar "imam" yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim u, juga akan diberikan kepada wali-wali dan orang-orang yang taat pada Allah I bukan untuk mausuh-musuh Allah dan orang-orang kafir. Orang-orang yang taat kepada Allah selain Nabi pun bisa menjadi seorang "imam" yang diikuti dan dijadikan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.
Menurut al-Tabataba'i, "imam" yang dimaksud dalam ayat ini, selain menjadi gelar bagi Nabi Ibrahim u juga dianugerahkan Allah U kepada imam-imam yang ada pada kalangan Syi`ah yaitu dua belas imam yang ditunjuk oleh Allah untuk melanjutkan risalah kenabian setelah wafatnya nabi Muhammad e, dan imam-imam tersebut wajib ditaati dan dijadikan teladan seperti halnya nabi-nabi.[48]
2)      Q. s. al-Anbiya (21): 73
Senada dengan yang disebutkan pada ayat di atas, ayat ini membahas pengangkatan Allah I kepada nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub sebagai "imam". Letak perbedaannya, al-Tabari menilai pemberian gelar "imam" bagi nabi-nabi dikarenakan perilaku mulia ketaatan mereka sehingga mereka menjadi teladan yang diikuti. Sementara al-Tabataba'i memandang gelar "imam" diperoleh nabi-nabi melalui proses pembentukan diri dengan cara yang sempurna dari Allah. Dan posisi imam adalah maqam tertinggi dari kehidupan manusia.[49] 
3)      Q. s. al-Furqan (25): 74
Pada ayat ini, al-Tabari menafsirkan "imam" dengan makna "pemimpin" yang akan memimpin orang-orang yang bertakwa. Sedangkan, al-Tabataba'i menafsirkanya dengan makna "contoh" (figur) bagi orang-orang yang bertakwa dalam mencari kebaikan dan rahmat Allah I.
4)      Q. s. al-Tawbah (9): 12
Kata " أئمة " pada ayat ini, menurut al-Tabari bermakna " رؤساء " yang menunjuk kepada pemimpin-pemimpin kafir.Pemimpin-pemimpin tersebut telah melanggar perjanjian dan kesepakatan serta melecehkan umat Islam. al-Tabataba'i menyatakan "وسماهم  أئمة  الكفر  لأنهم السابقون فى الكفر ", Allah memberi nama mereka "أئمة  الكفر",  karena mereka adalah orang-orang yang awal atau depan dalam bersikap kafir dengan ayat-ayat Allah.
5)      Q. s. al-Qasas (28): 41
Dari dua belas ayat yang menyebutkan kata "imam", al-Tabari menafsirkannya dengan makna "pemimpin" pada enam ayat. Termasuk pada ayat ini, yang mengisahkan tentang perilaku pemimpin-pemimpin yang mengajak pada kesesatan yaitu Fir`awn dan bala tentaranya. Sedangkan al-Tabataba'i menilai bahwa maksud kata "imam" dalam ayat ini adalah " سابقين  فى  الضلال ", yaitu orang-orang yang awal atau depan dalam kesesatan disebabkan sikap mereka yang mendahulukan hawa nafsu dan kepentingan mereka daripada perintah Allah.
Dari uraian di atas, al-Tabari dan al-Tabataba'i memiliki perbedaan penafsiran makna "imam" pada lima ayat yang terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124], [Q. s. al-Anbiya' (21): 73], [Q. s. al-Furqan (25): 74], [Q. s. al-Tawbah (9): 12], dan [Q. s. al-Qasas (28): 41].




[1] Depdikbud R. I., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 325.
[2] Lihat misalnya: Ibn Manzur, Lisan al-`Arab, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-`Arabi, 1413 H/1993 M), Jilid I, hlm. 212-223. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm. 42-44. al-Fayruz Abadi, al-Qamus al-Muhit, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1407 H/1987 M), hlm. 1391-1392. Ibrahim Anis, al-Mu'jam al-Wasit, (Kairo: T.Pn., T.Th.), hlm. 27.
[3] Muhammad Fuad `Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfad al-Qur'an al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1417 H/1996 M), hlm. 99.
[4] Departemen Agama R. I., al-Qur'an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma' Khadim al-Haramayn al-Syarifayn al-Malik Fahd li Tiba'ah al-Mushaf al-Syarif, 1412 H).
[5] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Azan, no. hadis 660 dan Imam Muslim dalam Kitab al-Zakat, no. hadis 1031. Lihat pada: Muhammad ibn Salih al-`Usaymin, Syarhu Riyad al-Salihin, (Riyad: Dar al-Watan, 1416 H), Jilid VI, hlm. 363-367.
[6] Syarif al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1416 H/1995 M), hlm. 35.
[7] `Abd Allah al-Dumayji, al-Imamah al-`Uzma, (Riyad: Dar Tayyibah, 1409 H), hlm. 28-29.
[8] Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan 'An  Ta’wil Ayi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H/ 1992 M), Jilid VI, hlm. 328-331.

[9] Ibid., Jilid VIII, hlm. 115-116.
[10] Ibid., Jilid IX, hlm. 424-425.
[11] Ibid., Jilid X, hlm. 28.
[12] Ibid., hlm. 75.
[13] Ibid., hlm. 250.
[14] Ibid., Jilid I, hlm. 577-578.
[15] Ibid., Jilid IX, hlm. 47.
[16] Ibid., Jilid VII, hlm. 19-20.
[17] Ibid., Jilid XI, hlm. 282-283.
[18] Ibid., Jilid X, hlm. 429-430.
[19] Ibid., Jilid VII, hlm. 530-531.
[20] Rukun iman menurut faham Syi`ah adalah: Pertama; Percaya kepada ke-Esa-an Allah, Kedua; Percaya kepada keadilan, Ketiga; Percaya kepada kenabian, Keempat; Percaya kepada Imamah, Kelima; Percaya kepada hari Ma`ad/Kiamat. Lihat pada: Irfan Zidny, Bunga Rampai Ajaran Syi`ah dalam kumpulan makalah “Seminar Sehari tentang Syi`ah”, (Jakarta: LPPI, 2000), hlm. 30-31.
[21] Muhammad Husayn al-Tabataba'i (selanjutnya disebut: al-Tabataba'i), Inilah Islam, Upaya memahami Seluruh KonsepIslam Secara Mudah, terjemahan: Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 115.
[22] al-Tabataba'i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Matbu’ah, 1393 H/ 1973 M), Jilid X, hlm. 177-178.
[23] Ibid., Jilid XVIII, hlm. 200.
[24] Sifat yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan isim (kata benda).
[25] al-Tabataba'i, op. cit., Jilid XII, hlm. 185.
[26] Ibid., Jilid XVII, hlm. 67-68.
[27] Ibid., Jilid XV, hlm. 243-244.
[28] Ibid., hlm. 247.
[29] Kitab al-Kafi merupakan kitab rujukan pokok dalam bidang hadis bagi kalangan Syi`ah.
[30] al-Tabataba'i, op. cit., hlm. 38-40.
[31] Ibid., Jilid XIII, hlm. 163-165.
[32] Ibid., Jilid XVI, hlm. 8-10.
[33] Ibid., hlm. 14-15.
[34] Ibid., Jilid I, hlm. 262-270.
[35] Ibid., hlm. 272. Lihat juga: al-Tabataba'i, Inilah Islam, Upaya memahami Seluruh KonsepIslam Secara Mudah, op. cit., hlm 120.
[36] Ibid., Jilid I, hlm 272.
[37] Ibid., Jilid XIV, hlm. 304.
[38] Ibid., Jilid I, hlm. 269.
[39] Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 65-68. `Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu'i: Suatu Pengantar, terjemahan: Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 30-31.
[40] Metode tafsir tahlili adalah metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya serta menerangkan maknanya sesuai dengan keahlian mufassir, dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Lihat: `Abd al-Hayy al-Farmawi, ibid., hlm. 12.
[41] Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra'illiyat dalam Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibn Kasir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 118.
[42] Ibn `Abbas memiliki nama lengkap `Abd Allah ibn `Abbas ibn `Abd al-Mutalib ibn Hasyim ibn `Abd Manaf al-Qurasyi al-Hasyimi, anak paman Nabi e. Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah dan termasuk salah seorang mufassir dari kalangan sahabat. Ibn Mas`ud memuji Ibn `Abbas dengan menyatakan: "Sebaik-baik turjuman (penerjemah) al-Qur'an adalah Ibn `Abbas yang tidak ada bandingannya". Lihat: Muhammad ibn Salih al-`Usaimin, Dasar-Dasar Penafsiran al-Qur'an, alih bahasa: Said Agil Husayn A. dan Ahmad Rifqi Mukhtar, (Semarang: Dina Utama, 1989 M), hlm. 45-46. Muhammad Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hlm. 66-71.
[43] Qatadah mempunyai nama lengkap Qatadah ibn Di`amah al-Sadusi al-Basri. Lahir dalam keadaan buta pada tahun 61 H dan wafat pada tahun 117 H dalam usia 56 tahun. Beliau memiliki keuletan dalam menuntut ilmu dan mempunyai daya ingat yang begitu kuat dan termasuk mufassir dari generasi tabi`in. Lihat: al-`Usaimin, ibid.,hlm. 47. al-Zahabi, ibid., hlm. 127-128.
[44] Mujahid mempunyai nama lengkap Mujahid ibn Jabr al-Makki. Dilahirkan pada tahun 21 H. Belajar tafsir al-Qur'an kepada Ibn `Abbas. Imam Syafi`I dan Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya banyak mengambil penafsiran Mujahid. Beliau sezaman dengan Qatadah dan menjadi salah satu ahli tafsir dari generasi tabi`in. Lihat: al-`Usaimin, ibid., hlm. 46-47. al-Zahabi, ibid., hlm. 106-107.
[45] Al-Hasan al-Basri memiliki nama lengkap al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Basri Maula al-Ansar. Termasuk ahli tafsir dari generasi tabi`in. Para penulis al-Kutub al-Sittah banyak berpedoman pada penafsiran al-Hasan. Beliau wafat pada tahun 110 H pada usia 88 tahun. Lihat: al-Zahabi, ibid., hlm. 126.
[46] al-Zahabi berkomentar tentang al-Tafsir al-Falsafi, sebagaimana dikutip al-Farmawi, bahwa di antara para filosof belum ada yang mengarang sebuah kitab tafsir al-Qur'an secara lengkap. Walaupun begitu, menurut penulis, termasuk kekhasan al-Tabataba'i dalam kitab tafsirnya adalah penyajian bahasan-bahasan kefilsafatan yang tidak akan ditemukan pada kitab-kitab tafsir lain. Lihat: al-Farmawi, op. cit., hlm. 20-21. `Ali al-Awsi, dalam "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu'assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/1973 M), Jilid I.
[47] Dalam pandangan Syi`ah, riwayat atau hadis adalah keterangan-keterangan yang berasal dari orang-orang yang ma`sum, yaitu Nabi Muhammad e dan imam-imam. Riwayat-riwayat tersebut dikategorikan ke dalam: Sahih, Hasan, Musaqah, dan Da`if. Lihat: H. M. Nabhan Husayn, Tinjauan Ahl al-Sunnah terhadap Faham Syi`ah tentang al-Qur'an dan al-Hadis dalam kumpulan makalah "Seminar Sehari tentang Syi`ah", (Jakarta: LPPI, 2000), hlm. 99-100.
[48] Yang termasuk dua belas imam Syi`ah yaitu: 1) Imam `Ali ibn Abi Talib; 2) Imam al-Hasan; 3) Imam al-Husayn; 4) Imam `Ali Zayn al-`Abidin; 5) Imam Muhammad al-Baqir; 6) Imam Ja`far al-Sadiq; 7) Imam Musa al-Kazim; 8) Imam `Ali Rida; 9) Imam Muhammad al-Jawwad; 10) Imam `Ali al-Hadi; 11) Imam al-Hasan al-`Askari; dan 12) Imam Muhammad al-Muntazar. Lihat: al-Tabataba'i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, op. cit., hlm. 122-135.
[49] Urutan-urutan seseorang mencapai maqam tertinggi dalm pandangan Syi`ah yaitu: seseorang menjadi hamba kemudian menjadi nabi, lalu menjadi rasul, setelah itu menjadi khalil (kekasih) Allah, dan terakhir pada maqam imam. al-Tabataba'i  mengutip sebuah riwayat yang berasal dari Ja`far al-Sadiq. Lihat: al-Tabataba'i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, op. cit., Jilid I, hlm. 269.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar