BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendekatan yang lazim dilakukan oleh para
ahli tafsir di dalam melakukan studi interpretasi teks al-Qur‟an adalah
menggunakan pendekatan bahasa. Dalam hal ini bukannya
kita tanpa bukti untuk mengatakan bahwa sepanjang sejarah peradaban umatIslam
telah menunjukkan bahwa para ahli tafsir sejak masa sahabat di kala itu
yangterkenal adalah Ibnu Abbas, sampai muncul berbagai ahli tafsir yang
terkenal yangditulis di era moderen, dan bahkan para islamisis barat
sekalipun, tidak ketinggalanuntuk
menggunakan pendekatan bahasa tersebut.
Dalam realisasinya
pendekatan bahasamerupakan salah satu pendekatan yang sangat memungkinkan dalam
studi ilmu tafsiral-Qur‟an. Karena al-Qur‟an representasi
nilai religius teologi muslim yang bercorak bahasa.
Oleh karena itu maka sepantasnya, untuk mengkaji al-Qur‟an setidaknya
diperlukan suatu alat analisis yang sama dengan corak yang dimilikinya. Yaitu pendekatan
bahasa. Bersamaan dengan perkembangan teori- teori ilmu
pengetahuan di bidang bahasa. Ternyata ilmu liguistik modern telah memiliki
peran yang signifikan terhadapperkembangan pendekatan studi al-Qur‟an.
Beberapa intelektual Muslim, telah
mencoba mengembangkan teori-teori tersebut dalam studi al-Qur‟an. Dalam kontek
ini masih berada dalam bingkai ilmu liguistik, sebagimana yang telah
dikembangkan oleh seoranglinguistik moderen, Ferdinan de Saussure. Namun, didalam
aplikasinya terhadap studi al-Qur‟an terdapat perbedaan satu sama lain.
Saussure telah membuktikan dirinya sebagai
ahli linguistik histories yang sangat cemerlang. yatitu tentang
strukturalismeliguistik Yang akhirnya tanpa disadari oleh Saussure sendiri,
buah pikirannyalah yangsebenarnya yang lebih banyak menyebabkan timbulnya
revolusi dalam kajian bahasa .
Perubahan itu selain
disebabkan oleh wawasannya tentang pembahasan bahasa secarasinkronis, antara lain juga dilandarsi oleh wawasannnya tentang keberadaan
bahasasebagai suatu relasi struktural
sebagai suatu sistem unik yang berbeda antara bahasayang satu dengan bahasa
yang lain. Sebab itulah kajian kebahasaan dalamstukturalisme, meskipun
dapat terfokus pada unit- unit tertentu.
Strukturalisme banyak dilihat sebagai
pendekatan secara diametral terpisah dengan hermeneutika, hermeneutika adalah
dialektika dan gerak kembali dan seterusnyadari teks menuju interpreter dari
teks menuju segala kemungkinan konteks dalammembangun makna terkini dari suatu teks
, yang akhirnya hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau
situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap
benar, baik hermeneutika dalam pandangan klasik maupundalam pandangan moderen.
Sedangakan
strukturalisme sering kali dilihat secara positivistik, mengafkirkan asumsi-asumsi epistimologis hermeneutika dan
menjarakiteks dari berbagai perhatian subjektif suatu kritik.Tetapi ada tokoh yang mengkritik hermeutika,
yaitu Muhammad Imarah. Beliaubanyak menentang penggunaan hermeneutika
dalam menafsirkan teks-teks agama.Termasuk al-Qur‟an Dan al-Hadits. Salah satu
kritikannya adalah ketika beliumengatakan
dalam salah satu karangannya bahwa hermeutika merupakan ilmu tentang kematian
pengarang.
B.PROFIL SINGKAT MUHAMMAD ‘IMARAH
1.Kelahiran, Kehidupan
Muhammad Imarah atau sering dikenal dengan
sebutan Imarah adalah pemikirIslam yang berlian, Ia dilahirkan tahun 1931 M, di
Desa Sharwah-Qalain Provinsi Kafr Al-Syaikh Mesir. Dalam
kehidupannya beliau termasuk orang yang sangat beruntungkarna hidup ditengah– tengah yang
amat mengerti dengan agama, walau secara ekonomiia masih tergolong keluarga
yang sederhana berstatus petani. Akan tetapi semangat ilmu orang tuanya mengantarkan pemikirannya untuk terus
berkosentrasi akan pentingnyailmu dan pengetahuan.
Dan semangat itu pun berlanjut sampai ia memasuki jenjang Pendidikan
Tinggi.
Sebagaimana tradisi Ulama‟ Islam, Muhammad Imarah telah mampu menghafal al-Quran
melalui kutab semasa pendidikannya di Sekolah Dasar. Pada 1945 ia
masuk sekolah menengah “Ma‟had Dasuqi al-Diny” yang berada di bawah
al-Azhar.Kemudian pada 1949 dia masuk
sekolah Tsânawiyah (setarap SMA) di “Ma‟had Thanta al-Ahmadi”
yang juga menjadi underbow al-Azhar
dan keluar pada 1954. Mulai saat inilah
bakat dan perhatian Imarah terhadap persoalan politik, kebudayaan dan
sosialmulai muncul. Dia pun mulai sering menulis artikel maupun puisi di
berbagai jurnal dan majalah seperti di Misru al-Fatâh, Mimbar al-Syarq, al-Masry,
al-Kâtib dan lain-lainnya.
Kemudian ia
melanjutkan studi formalnya ke jenjang perguruan tinggi di Dârul Ulum
Cairo-University pada 1954 pada fakultas Bahasa Arab dan Ilmu Syariah.Setelah
selesai dari pendidikan perguruan tinggi, ia mulai mencurahkan waktudan
perhatiannya kepada proyek pemikiran tokoh-tokoh Islam. Karya perdananya berjudul Al-Qawmiyah Al-Arabiyah diterbitkan 1958, yang berhasil dua
kali naik cetak.Lalu ia mulai mengumpulkan data dan mengkaji pemikiran
serta gagasan para tokohyang menurutnya
sangat berpengaruh (dalam proyek al-a’mal kâmilah).
Seperti, Rifa‟ah Thahtâwi, Jamaluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, Abdurrahman
al-Kawâkibi, AliMubarak, Qâsim Amin.
Kemudian tentang tokoh
pemikir pembaru, ia menulis beberapa tokoh terkenal, seperti: Abd. Razak
al-Sanhuri Basya, Muhammad Ghazali, UmarMakram, Musthafa Kamil, Khoiruddin
al-Tunisi, Rasyid Ridha, Abd. Hamid bin Badĩs, Muhammad Khidir Husein, Abul A‟la al-Maududi, Hasan al-banna, Sayid Qutub,Muhammad Syaltut dan lain-lain.Pada tahun
1970 M, ia meraih gelar Master dalam bidang Filsafat Islam di Dârululum-Cairo University, dengan judul tesis
“ Mu‟tazilah dan Problematika KebebasanManusia”. Kemudian pada 1975 gelar Doktor diraihnya dengan disertasi doktoral
“Al-Islâm wa Falsafat Al-Hukm”, yang dicetak berkali-kali sampai saat ini, juga
dari universitas yang sama.
2.Karya-karya
a) Karangan Pribadi
1) Ma`âlim al-Manhaj al-Islâmy,
(Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).2) Al-Islâm wa al-Mustaqbal, (Kairo:
Dâr el-Rasyâd, 1997).3) Nahdhatuna al-Hadîtsah baina al-`Ilmâniyyah wa
al-Islâm, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).4) Ma`ârik
al-`Arab Dhidzdz al-Ghazâh, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1998).5) Al-Ghârah
al-Jadîdah `ala al-Islâm, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1998).6) Jamâluddîn
al-Afghâny baina Haqâiq at-Târîkh wa Akâdzîb Luis `Iwadh,(Kairo: Dâr
el-Rasyâd, 1997).7) Asy-Syaikh Muhammad al-Ghazâli: al-Mauqi` al-Fikry
wa al-Ma`ârik al-Fikriyah,
(Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1998).8) Al-Wa`y bi at-Târîkh wa Shinâ`t
at-Târîkh, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).9) At-Turâts wa
al-Mustaqbal, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).10) Al-Islâm
wa at-Ta`addudiyah:at-Tanawwu` wa al-Ikhtilâf fî Ithâr al-Wuhdah, (Kairo: Dâr el-Rasyâd,
1997) 11) Al-Ibdâ` al-Fikry wa al-Khushûshiyah al-Hadhâriyah, (Kairo:
Dâr el-Rasyâd, 1997).12) Ad-Duktûr
`Abdur Râziq Syanhûry Bâsyâ: Islâmiyah ad-Daulah wa al- Madaniyah wa al-Qanûn, (Kairo: Dâr el-Rasyâd,
1999).13) Al-Islâm wa as-Siyâsa:ar-Radd `ala Syubhât
al-`Ilmâniyyîn, (Kairo: Dârel-Rasyâd,
1997 & Jeddah: Markaz ar-Râyah, 2003).14)Al-Islâm wa Falsafat
al-Hukm, (Dâr el-Syurûq, 1998).15) Ma`rakah al-Islâm wa Ushûl
al-Hukm, (Dâr el-Syurûq, 1997).16) Al-Islâm wa al-Funûn al-Jamîlah,
(Dâr el-Syurûq, 1991).17) Al-Islâm wa Huqûq al-Insân, (Dâr
el-Syurûq, 1989 & Jeddah: Markaz ar-Râyah, 2003).18) Al-Islâm wa
ats-Tsaurah, (Dâr el-Syurûq, 1988).19) Al-Islâm wa al-`Urûbah,
(Dâr el-Syurûq, 1988).20) Ad-Daulah al-Islâmiyyah baina al-`Ilmâniyyah
wa as-Sulthah ad-Dîniyyah,(Dâr el-Syurûq, 1988).21) Hal al-Islâm
Huwa al-Hill? Limâdzâ? Wa Kaifa?, (Dâr el-Syurûq, 1998).22)Suqûth
al-Ghuluww al-`Ilmâny, (Dâr el-Syurûq, 2002).23) Al-Ghazw
al-Fikry Wahm am Haqîqah?, (Dâr el-Syurûq, 1997).24) Ath-Tharîq
ila al-Yaqdhah al-Islâmiyya, (Dâr el-Syurûq, 1990).25)Tayyârat
al-Fikr al-Islâmy, (Dâr el-Syurûq, 1997).26) Ash-Shahwah
al-Islâmiyyah wa at-Tahaddy al-Hadhâry, (Dâr el-Syurûq,1997).27) Al-Mu`tazilah
wa Musykilah al-Hurriyyah al-Insâniyyah, (Dâr el-Syurûq,1988).28)`Indama
Ashbahat Mishr `Arabiyyah Islâmiyyah, (Dâr el-Syurûq, 1997).29) Al-`Arab
wa at-Tahaddy, (Dâr el-Syurûq, 1991).30) Muslimûn Tsawwâr ,
(Dâr el-Syurûq, 1988).31) At-Tafsîr al-Markisy li al-Islâm,
(Dâr el-Syurûq, 2002).32) Al-Islâm baina at-Tanwîr wa
at-Tazwîr , (Dâr el-Syurûq, 2002).33) At-Tayyâr al-Qoumy
al-Islâmy, (Dâr el-Syurûq, 1996).34) Al-Islâm wa al-Amn
al-Ijtimâ`iy, (Dâr el-Syurûq, 1998).35) Al-Ushûliyyah baina
al-Gharb wa al-Islâm, (Dâr el-Syurûq, 1998).36) Al-Jâmi`ah
al-Islâmiyyah wa al-Fikrah al-Qoumiyyah, (Dâr el-Syurûq,1994).37)Qâmûs
al-Mushthalahât al-Iqtishâdiyyah fî al-Hadhârah al-Islâmiyyah,(Dâr
el-Syurûq, 1993).38)`Umar ibn Abdul Azîz, (Dâr el-Syurûq, 1988).39) Jamâluddîn
al-Afghâny: Mûqizh asy-Syarq(Dâr el-Syurûq, 1988).40) Muhammad
`Abduh: Tajdîd ad-Dunya bi Tajdîd ad-Dîn, (Dâr el-Syurûq,1988).41)`Abdurrahmân al-Kawâki,
(Dâr el-Syurûq, 1988).42) Abû al-A`lâ al-Maudûdi, (Dâr
el-Syurûq, 1988).43) Rifâ`at
Thahthâwî , (Dâr el-Syurûq, 1988).44)`Ali Mubârak ,
(Dâr el-Syurûq, 1988).45)Qâsim Amîn, (Dâr el-Syurûq, 1988).46) At-Tahrîr
al-Islâmy li al-Mar‟ah, (Dâr
el-Syurûq, 2002).47) Asy-Syarî`ah al-Islâmiyyah wa al-`Ilmâniyyah
al-Gharbiyyah, (Dâr el-Syurûq, 2002).48) Ma`rakah al-Mushthalahât
baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: NahdhahMesir, 1997).49) Al-Quds
asy-Syarîf Ramz ash-Shirâ` wa Bawwâbah al-Intishâr , (Kairo:Nahdhah
Mesir, 1997).50) Hâdzâ Islâmunâ: Khulâshât al-Afkâr , (Dâr el-Wafâ‟, 2002). 51) Ash-Shahwah
al-Islâmiyyah fî `Uyûn al-Gharbiyyah, (Kairo: NahdhahMesir, 1997).52) Al-Gharb
wa al-Islâm, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).53) Abû Hayyân at-Tauhîdy,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).54) Ibn Rusyd baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).55) Al- Intima‟ ats-Tsaqafy, (Kairo:
Nahdhah Mesir, 1997).56) At-Ta`addudiyyah: ar- Ru‟yah
al -Islâmiyyah wa at-Tahaddiyât al-Gharbiyyah,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).57)Shirâ` al-Qiyam baina al-Ghrab wa al-Islâm,
(Kairo: Nahdhah Mesir,1997).58) Ad-Duktûr Yûsuf Qardhâwi: al-Madrasah al-Fikriyyah
wa al-Masyrû` al-Fikry,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).59)`Indama Dakhalat Mishr fî Dîn Allah, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).60) Al-Harakât
al-islâmiyyah: Ru‟yah Naqdiyyah,
(Kairo: Nahdhah Mesir,1998).61) Al-Manhaj al-`Aqliy fî Dirâsât
al-`Arabiyyah, (Kairo: Nahdhah Mesir,1997).62) An-Namûdzaj
ats-Tsaqâfy, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).63)Tajdîd ad-Dunya bi Tajdîd
ad-Dîn, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).64) Ats-tsawâbit wa
al-Mutaghayyirât fî Fikr al-Yaqdhah al-Islâmiyyah al- Hadîtsah,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).65) Naqdh Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).66) At-Taqaddum wa al-ishlâh: bi at-Tanwîr
al-Gharby aw bi at-Tajdîd al- Islâmy?, (Kairo: Nahdhah Mesir,
1998).67) Al-Hamlah al-Faransiyyah fî al-Mîzân, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).68) Al-Hadhârât
al-`Âlamiyyah: Tadâfu` am Shirâ`?, (Kairo: Nahdhah Mesir,1998).]69) Islâmiyyah
ash-Shirâ` baina al-Quds wa Filisthîn, (Kairo: Nahdhah Mesir,1998).70) Al-Quds
baina al-Yahûdiyyah wa al-Islâm,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).71) Al-Aqalliyyât ad-Dîniyyah wa
al-Qaumiyyah: Tanawwu` wa Wuhdah amTaftît wa Ikhtirâ`?, Kairo: Nahdhah
Mesir, 1998).72) As-Sunnah an-Nabawiyyah wa al-Ma`rifah al-Insâniyyah,
(Kairo: NahdhahMesir, 2000).73)Khathar al-`Ûlamah `ala al-Hawiyyah
ats-Tsaqafiyyah, (Kairo: NahdhahMesir, 1999).74) Mustaqbaluna baina
al-`Âlamiyyah al-Islâmiyyah wa al-Ûlamah al-Gharbiyyah,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 2000).75)Fî at-Tahrîr al-Islâmy li al-Mar‟ah,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 2003).76) Al-Mustaqbal al-Ijtimâ`iy li al-Ummah
al-Islâmiyyah, (Kairo: NahdhahMesir, 2003).77) Hal al-Muslimûn
Ummah Wâhidah?, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1999).78) Al-Ghinâ‟ wa al -Mûsiqy: Halâl am Harâm?,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 1999).79)Syubhât Haula al-Qur'an al-Karîm,
(Kairo: Nahdhah Mesir, 2003). 80)Tahlîl al-Wâqi‟ bi Minhâj
al -`Âhât al-Muzminah, (Kairo: Nahdhah Mesir,1999).81) Al-Hiwâr
baina al-Islâmiyyîn wa al-`Ilmâniyyîn, (Kairo: Nahdhah Mesir,2000).82) Adh-Dhâhirah
al-Islâmiyyah – al-Mukhtâr al-Islâmy, (1998).83)al-Wasîth
fî al-Madzâhin wa al-Mushthalahât al-Islâmiyyah, (Kairo:Nahdhah
Mesir, 1999).84) Islâmiyyât Sanhûri Bâsyâ, (Dar el-Wafâ‟:
2003). 85) An-Nashsh al-Islâmy baina al-Ijtihâd wa al-Jumûd wa
at-Târîkhiyyah,(Damaskus: Dâr el-Fikr, 1998).86) Azmah al-Fikr
al-Islâmy al-Hadîts, (Damaskus: Dâr el-Fikr, 1998).87) Al-Mâdiyyah
wa al-Matsâliyyah fî Falsafah Ibn Rusyd , (Dâr el-Ma`ârif:1983).88) Al-`Athâ‟ al -Hadhâry li al-Islâm,
(Dâr el-Ma`ârif: 1998).89) Islâmiyyah al-Ma`rifah Madzâ Ta`ny, (Dâr
el-Ma`ârif: 1999).90) Al-Islâm wa Dharûrah at-Taghyîr , (Dâr el-Ma`ârif:
2001).91) Al-Islâm wa al-Harb ad-Dîniyyah, (Dâr el-Ma`ârif:
2002).92) Tsaurah az-Zanj, (Dâr el-Wuhdah: 1980).93) Dirâsât
fî al-Wa`y bi at-Târîkh, (Dâr el-Wuhdah: 1984).94) Al-Islâm wa
al-Wuhdah al-Qaumiyyah, (Beirut: Lembaga Kajian Arab,1979).95) Al-Islâm
wa as-Sulthah ad-Dîniyyah, (Beirut:
Lembaga Kajian Arab, 1980).96) Al-Islâm baina al-`Ilmâniyyah wa
as-Sulthah ad-Dîniyyah, (Kairo: DârTsâbit, 1982).97)Fikr at-Tanwîr
baina al-Islâmiyyîn wa al-`Ilmâniyyîn, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟,1995).98) Salâmah Mûsa: Ijtihâd Khâthi‟ am `Ammâlah
Hadhâriyyah ?, (Kairo: Dârel-Wafâ‟, 1995). 99) Al-`Âlam
al-Islâmy wa al-Mutaghayyirât ad-Dauliyyah, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟,
1997) 100) Âlamunâ:
Hadhârah am Hadhârât?, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟, 1997). 101) Al-Jadîd fî al-Mukhaththath
al-Gharby Tijâh al-Muslimîn, (Kairo:
Dâr el-Wafâ‟, 1997). 102) Al-`Ilmâniyyah
baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟, 1996). 103) Muhammad Abduh: Sîratuhu wa A`mâluhu,
(Beirut: Dâr el-Quds, 1978).104) Nadzrah
Jadîdah ila at-Turâts, (Damaskus: Dâr el-Qutaibah, 1988).105) Al-Qaumiyyah al-`Arabiyyah wa Mu‟âmarât Amrîka Dhidda Wuhdah
al-`Arab, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1958).106) Al-Fikr
al-Qâ‟id li ats-Tsaurah al-Irâniyyah,
(Kairo: Dâr Tsâbit, 1982).107) Dhâhirah
al-Qaumiyyah fî al-Hadhârah al-`Arabiyyah, (Kuwait, 1983).108) Rihlah fî `Âlam ad-Duktûr
Muhammad `Imârah, (Beirut: Dâr el-Kitâb al-Hadîts, 1989).109) Nadhariyyah al-Khilâfah
al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr ats-Tsaqâfah al-Jadîdah, 1980).110) Al-`Adl al-Ijtimâ`iy li Umar ibn
Khaththâb, (Kairo: Dâr ats-Tsaqâfah al-Jadîdah,
1978).111) Al-Fikr al-Ijtimâ`iy li `Ali ibn Thâlib, (Kairo:
Dâr ats-Tsaqâfah al-Jadîdah,1978).112) Isrâîl
Hal Hiya Sâmiyah?, (Kairo: Dâr el-Kitâb al-`Araby, 1968) 113) Al-Islâm wa Ushûl
al-Hukm: Dirâsât wa Watsâ‟iq, (Beirut: Lembaga KajianArab, 1985).114) Ad-Dîn
wa ad-Daulah, (al-Hai‟ah al-`Âmmah li al-Kuttâb, 1997).115) Al-Istiqlâl al-Hadhârah,(al-Hai‟ah al-`Âmmah li al-Kuttâb, 1993).116)Al Islâm wa Qadhâya al-`Ashr ,
(Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).117) Al-Islâm
wa al-`Urûbah wa al-`Ilmâniyyah, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1981).118) Al-Farîdhah al-Ghâibah:
`Aradh wa Hiwâr wa Taqyîm, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1983).119) At-Turâts
fî Dhau‟ al -`Aql, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).120)Fajr al-Yaqdhah al-Qaumiyyah,
(Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).121) Al-`Urûbah
fî al-`Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).122) Al-Ummah al-`Arabiyyah wa
Qadhiyyah al-Wuhdah, (Beirut: Dâr el-Wuhdah,
1984).123) Akdzûbah al-Idhthihâd ad-Dîny fî Mishr ,
(Kairo: Dewan Tinggi UrusanKeislaman, 2000).124)Fî al-Mas‟alah
al -Qibthiyyah: Haqâiq wa Auhâm, (Kairo: Maktabah asy-Syurûq
ad-Dauliyyah, 2001).125) Al-Islâm
wa al-Âkhar: Man Ya`tarif bi Man? Wa Man Yunkir Man?, (Kairo:Maktabah
asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2001).126)Fî
Fiqh al-Muwâjahah baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Maktabah asy-Syurûq
ad-Dauliyyah, 2003).127) Al-Islâm
wa al-Aqalliyyât: al-Mâdhy wa al-Hâdhir wa al-Mustaqbal,(Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah,
2003)128) Mustaqbalunâ baina at-Tajdîd al-Islâmy wa al-Hadâtsah
al-Gharbiyyah,(Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2004).129) Al-Gharb wa al-Islâm: Aina
al- Khatha‟? wa Aina ash-Shawâb?,
(Kairo:Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2004).130) Maqâlât al-Ghuluww ad-Dîny wa al-Lâdîdny,
(Kairo: Maktabah asy-Syurûqad-Dauliyyah, 2004).131)Fî Fiqh al-Hadhârah al-Islâmiyyah,
(Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah,
2003).132)Fî al-Masyrû` al-Hadhâry al-Islâmy, (Jeddah: Markaz
ar-Râyah, 2003).133) Min
A`lâm at-Tajdîd al-Islâmy, (Jeddah:
Markaz ar-Râyah, 2003).134)Syubhât wa Ijâbât Haula al-Qur'an al-Karîm,
(Kairo: Dewan Tinggi UrusanKeislaman, 2001).135) Al-Imâm al-Akbar asy-Syaikh Mahmûd Syaltût ,
(Kairo: Dewan TinggiUrusan Keislaman,
2001).136)Syubhât wa Ijâbât Haula Makânah al-Mar‟ah fî al -Islâm, Vol. I, II, III,(Kairo: Dewan Tinggi Urusan Keislaman, 2001
b)Hasil Suntingan dan Penelitian
1. Al-A`mâl al-Kâmilah Li Rifâ`ah
ath-Thahthâwi, (Beirut: Lembaga KajianArab, 1973).2. Al-A`mâl
al-Kâmilah Li Jamâluddîn al-Afghâni, (Beirut: Lembaga KajianArab, 1979).3. Al-A`mâl
al-Kâmilah Li al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Dâr el-Syurûq,1993) 4. Al-A`mâl
al-Kâmilah Li Abdurrahmân al-Kawâkibi, (Beirut: Lembaga KajianArab,
1975).5. Al-A`mâl al-Kâmilah Li Qâsim Amîn, (Kairo: Dâr el-Syurûq,
1989).6. Rasâ‟il al -`Adl
wa at-Tauhîd , (Kairo: Dâr el-Syurûq, 1987).7.Kitâb al-Amwâl Li
`Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, (Kairo: Dâr el-Syurûq, 1989).8. Risâlah
at-Tauhîd Li al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Dâr el-Syurûq,1993).9. Al-Islâm
wa al-Mar‟ah fî Ra‟y al -Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Dâr
el-Rasyâd, 1997).10.Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Hikmah wa
asy-Syarî`ah min al-Ittishâl,(Kairo: Dâr el-Ma`ârif, 1999).11. At-Taufîqât
al-Ilhâmiyyah fî Muqâranah at-Tawârîkh Li Muhammad Mukhtâr Bâsyâ
al-Mishry, (Kairo: Dewan Tinggi Urusan Keislaman, 2004).12. Asy-Syarî`ah
al-Islæmiyyah Shâlihah Li Kull az-Zamân wa Makân Li asy-Syeikh Muhammad
al-Khadhr Husain, (Mesir: Nahdhah, 1999).13. As-Sunnah wa al-Bid`ad
Li asy-Syeikh Muhammad al-Khadhr Husain,(Mesir: Nahdhah, 1999).14. Rûh
al-Hadhârah al-Islâmiyyah Li Syeikh al-Fâdhil ibn `Âsyûr , (Mesir:Nahdhah, 2003)..
c)Sanggahan-sanggahan
1. Azmah al-`Aql al-`Araby,
(Kairo: Dâr an-Nahdhah Mishr, 2003).2. Al-Muwâjahah baina al-Islâm
wa al-`Ilmâniyyah, (Kairo: Dâr al-Âfâq ad-Dauliyah,
1413 H).3.Tahâfut al-`Ilmâniyyah, (Kairo: Dâr al-Âfâq
ad-Dauliyah, 1413 H)
d)Karangan Kolektif
1. Al-Harakah al- Islâmiyyah:
Ru‟yah Mustaqbaliyyah, (Kuwait, 1989).2. Al-Qur'an,(Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1972).3. Muhammad Saw.,(Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1972).4.Umar
ibn Khaththâb, (Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1973).5. Ali ibn
Thâlib, (Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1974).6.Qâri`ah
September , (Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyah, 2002).7. Haqâiq
al-Islâm fî Muwâjahah Syubhât al-Musyakkikîn, (Kairo: DewanTinggi Urusan Keislaman, 2002).8. Al-Islâm
fî `Uyûn al-Gharbiyyah.9.Qirâ‟ah an-Nashsh
ad-Dîny baina at-Ta‟wîl al -Gharby wa
at-Ta‟wîl al - Islâmy.10. Maqâm al-`Aql fî
al-Islâm.11. Al-Futûhât al-Islâmiyyah: Tahrîr am Tadmîr?
BAB II
PEMBAHASAN PEMIKIRAN MUHAMMAD IMARAH
(Sinopsis Isi Kitab)
A.PENGANTAR
Hermeneutik muncul dari filsafat pencerahan positif Eropa pada abad ke18
Hyang merupakan perkembangan dari takwil yang dikenal dalam pemikiran barat
sejakabad Yunani yang menganggap Tuhan telah mati ketika menakwilkan teks-teks
agamakaum Yahudi dan Nasrani, dan bahwa pengarang telah mati ketika menafsirkan
teks-teks sastra dan seni.
Dalam pemikiran barat hermeneutik adalah ilmu memahami teksdimana petunjuk makna dan tujuan menempati posisi
makna.Takwil muncul sebagai upaya pembaca dalam melepaskan diri dari
teks-teks.Untuk menghadapi teks-teks yang memiliki kekuatan, mempengaruhi
pemikiran dansosial, muncullah takwil untuk
melepaskan diri dari kekuatan dan pengaruh tersebut.
Tujuan dari takwil, yang berusaha menembus teks hingga
mencapai maknaterdalamnya yang sebenarnya akan memunculkan makna majas bagi
teks tersebut,beragam:1.Terbebas
dari batasan teks kitab suci guna mensingkronkan
kandungan teksdengan pendapat penakwil. 2.Terbebas dari batasan
teks kitab suci untuk mensingkronkan antara pemahamantekstual dan pemahaman rasional. 3.Ingin memperjelas kitab suci guna
memperdalam pengetahuan yang dimiliki.
Takwil yang berusaha melepaskan diri dari teks tidak hanya terbatas pada
teks-teks agama saja akan tetapi digunakan dalam teks-teks lain yang memiliki
pengaruh baik dalam budaya ataupun masyarakat.Seperti ketika
syair Hermirus (19 SM) yang memiliki pengaruh ia pun mulaiditakwilkan oleh para pendukung aliran kalbiyah.Lalu Ziyus (kebesaran Tuhan)dita'wilkan
dengan Logos (akal pertama). Sebuah penakwilan yang keluar dari maknatekstual berganti dengan berbagai makna konkrit,
yakni makna lahir menjadi maknabatin, mengganti makna hakiki menjadi makna
majazi.Takwil seperti ini bagi kaum Yahudi pada periode perjanjian lama
sudah dilakukan.
Mereka menafsrikan Abraham (Ibrahim) menjadi "cahaya" (akal),
Sarah(Isterinya) menjadi keutamaan. Pada masa Filon (20SM-54M) takwil seperti
ini menjadi aliran dan metode dalam
memahami kitab suci. Bagi Filon , takwil dengan makna terdalam adalah mengganti makna lahir teks dengan ruh
dan hakikat maknanya.Sehingga, surga ditafsirkan dengan alam
ruh. Sejak itulah (abad pertama Masehi) takwil intrinsik (batini) ini mulai terbentuk menjadi sebuah metode
penafsiran.
Bagi kaum Nasrani, takwil intrinsik ini dimulai oleh Origen (185-254M) yangdipengaruhi
oleh Filon. Ia menyatakan bahwa dalam membaca Injil ada tiga level. (1)orang sederhana cukup memahami "tubuh"
kitab suci; (2) orang yang pemahamannyalebih maju akan mengetahui
"ruh" kitab suci; (3) orang yang sempurna
adalah orangyang dapat memahami kitab suci dengan jiwa yang telah melihat
alam gaib.Bagi Origen, Injil tidak mungkin memahami seluruh Injil secara
harfiah. Harusdibedakan antara redaksi yang
dapat dipahami secara tekstual dan yang harus dipahamiditakwilkan secara
intrinsik.
Sejak saat itu, seluruh kecenderungan pemikiran Nasranimenggunakan takwil intrinsik.Pada abad
pertengahan tiga petunjuk makna (dalalah) yang pernah dikatakanoleh Origen berubah menjadi empat yang kemudian
mencapai klimaksnya pada masa Tuman ikwaini (1225-1274
M), yaitu:a.Dalalah Harfiyah : Petunjuk makna tekstual
b.Dalalah Majaziyah : petunjuk alegoris c.Dalalah akhlaqiyah :
petunjuk tropologi dan d.Dalalah al-Bathiniyah : petunjuk anagogik.
Petunjuk makna tekstual, majas dapat dipahami dengan
membaca, sedangkan Petunjuk makna tropologi
dan anagogi diperoleh dengan penghayatan. Bagi
saya,masing-masing sejarah takwil intrinsik ini dalam sejarah pemikiran Barat,
baik yangberhubungan dengan teks agama
ataupun teks manusia, hanyalah berkisar tingkat overstatement (ghulub)
dan moderat.
Sudah barang tentu, berbagai takwil ini hanyadimaksudkan untuk mencari makna hakikat teks dan hakikat maksud redaksi
teks. Samasekali tidak ada upaya untuk memisahkan (qatii'ah)
antara pembaca (penafsir), sumberteks dan
penulis. Pemisahan baru muncul pada masa pencerahan (tanwir )
barat denganfilsafat intrinsik (batini).
B.HERMENEUTIKA :ILMU KEMATIAN
SANG PENGARANG!
Filsafat pencerahan Barat terus hidup
bersama Moralitas (akhlakiyah)
Kristianidan dianggap sebagai sebuah proses
wajib dan berguna dalam menentukan perilakukhalayak banyak. Akan tetapi,
filsafat pencerahan barat tersebut memutus hubunganmoralitas umat
Kristiani dengan Tuhan dan menakwilkan teks agama denganpenakwilan yang membebaskan pemahaman pembaca dari maksud yang
diinginkandalam teks Tuhan tersebut.
Dari sinilah hermeneutik menjadi semakin
banyakdigunakan dalam penakwilan.Kesuksesan
Coeur Nikos dalam ilmu alam mempengaruhi dunia pemikiran dansastra serta sosial
seluruh masyarakat Eropa, termasuk filsafat, kemanusiaan dan
agama.Semua orang berupaya membentuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial seperti
ilmu alamtermasuk metode dalam ilmu alam.
Bahkan mereka berusaha menempatkan agama
alam sebagai pengganti agama Tuhan .Jol
Ricoeur mengatakan: hermeneutik telah lahir pada abad ke-18 M karenaCoeur Nikos
mengajukan pertanyaan Bagaimana pemahamannya? Sebagai penggantipertanyaan: Apa
arti teks ini, atau arti paragraf teks ini, baik teks kitab suci ataupunbukan.
Kembangkitan hermeneutik
pada abad 18 M tersebut menegaskan akankematian pengarang atau
penutur, mengesampingkan tujuan pengarang atau penutur,menempatkan petunjuk makna (dalalah) yang merupakan pemahaman individupembaca
menggantikan makna yang diinginkan oleh penulis dalam teksnya, baik teksagama ataupun bukan.Jarak antara penulis
dan pembaca membelenggu pembaca ketika berhadapandengan teks.
Beberapa pertanyaan
muncul dalam memahami teks: Apakah pembacamampu memahami teks dengan benar? Apa
yang dimaksud pemahaman yang benarterhadap teks? Adakah pemahaman tunggal? Dari
mana munculnya petunjuk makna,penutur, pembaca atau
Teks? Jawabannya_dulu, tentu petunjuk makna muncul daripengarang, akan tetapi
karena berkembangnya kajian atas teks-teks seni menjadikan pembaca yang memainkan peran penting dalam
memahami teks, sehingga dapatdikatakan pembacalah yang menghasilkan teks.
Teks dalam
hermeneutik adalah seluruh ungkapan tertulis. Sedangkan teks menurut para Ahli Ushul Islam adalah sesuatu yang pasti (muhkam) yang hanyamemiliki satu makna,
sehingga tidak perlu ditakwilkan, sebab ia merupakan lawan mutasyabih. Teks bagi para
ulama Ushul adalah sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan
makna lain, dalam waktu dekat ataupun kemudian hari. Seperti angkalima yang hanya
memiliki satu makna.
Hermeneutik menempatkan pembaca sebagai
pengganti penulis atau penutur dan menjadikan pembaca sebagai orang yang
menghasilkan teks. Pemisahan teks dari pengarang ini
berimbas pada tujuan pengarang atau penulis dan pesan yang ingindisampaikannya
dalam teks. Bahkan, ada kecenderungan bahwa hermeneutik berusaha membentuk
modernitas positif dimana manusia alam menggantikan manusia Tuhan danmenjadikan manusia alam
tersebut sebagai inti sumber pengetahuan menggantikanTuhan.
Sedangkan takwil dalam hermeneutik adalah
kemampuan kita dalam memahamitujuan teks. Meskipun yang kita pahami salah.
Target akhir hermeneutik adalah memahami
penulis lebih baik daripada apa yang dipahami oleh penulis tentang dirinya sendiri. Teks
lebih banyak berkata dari pada apa yang dikatakan penulis. Petunjuk makna
memutus jiwa penulis. Petunjuk makna yang dihasilkan oleh pembaca adalah pengantar petunjuk makna yang dialami oleh
penulis. Dalam hermeneutik setiap pembaca adalah sisi yang didewakan.
Sedangkan penulis dianggap telah tiada. Makna dan tujuan
yang ingin disampaikan oleh penulis dianggap tidak ada.
Demikianlah
hermeneutik dalam pandangan Barat, tatkalahermeneutik
digunakan bagi setiap teks, agama dan manusia, muhkam dan mutasyabih,yang
perlu ditakwil dan tidak ditakwil, boleh ditakwil dan tidak boleh ditakwil,
makasebenarnya kita dihadapkan pada "kesia-siaan yang tidak
dimengerti" yang hanyadiketahui oleh
Allah.
C.HERMENEUTIKA TEKS AGAMA
Kebangkitan Eropa Modern dengan filsafat
pencerahan yang dibentuk olehJerman didasarkan pada turats filsafat
Yunani yang memisahkan antara nukilan agamadan
wahyu Tuhan dan hukum Romania yang berdasarkan pada filsafat kemanfaatdengan
kemanfaatan dunia. Hermeneutik dalam Taurat merupakan pengembangan darihermeneutika
filsafat yang menganggap Tuhan telah mati, dalam teks agama,sebagaimana yang dianggap oleh hermeneutik
filsafat dalam teks manusia.
Pembaca diberikan kebebasan berlebih dalam untuk
menakwil. Pembaca adalah yang mengeluarkan teks agama tanpa sama sekali
membedakan antara wahyu Tuhan dan teks-teks yang telah dirubah dan dikembangkan oleh manusia. Hermeneutik memperlakukan teks agama sebagai sesuatu yang
nisbi, karena pembentuk hermeneutik benar-benar mengingkari sesuatu
yang mutlak. Hal itu diberlakukan
pada perjanjian lama ketika hermeneutik Taurat menjad isatu-satunya objek
terapan yang memungkinkan bagi hermeneutik filsafat.
Ketika hermeneutik diterpakan pada teks agama, Taurat, dan diperlakukan
seperti halnya teks sastra dan seni, ketika dilakukan penakwilan dengan rumus
dan isyarat, ketika pembacaditempatkan pada posisi pengarang, maka agama
dilepaskan dari agama aslinya danmerubah menjadi agama alam. Jika
muralitasnya/tropologi (akhlakiyah) dapat terjaga hingga masa tertentu, maka ia akan terpisah dari
ketuhanan berubah menjadi sesuatuyang mirip dengan karya manusia yang
terputus dari kenabian, mukjizat dan wahyuserta Allah.
Seperti halnya teks-teks kaum Yahudi dan Taurat, hermeneutik dengan
sepertiini juga diberlakukan pada teks-teks kaum Nasrani dan beberapa Injil
bahkan, agamaKristen tidak dianggap tidak lebih dari penakwilan atas Yahudi dan
Perjanjian Lama.Berbagai perbedaan antara
Injil dianggap sebagai buah dari berbagai perbedaanpenakwilan antara
orang-orang yang menulis Injil.
Ada yang menakwilkan al-Masih dengan Taurat. Masing-masing julukan yang dinamakan
oleh para penafsiran yangberkaitan dengan kajian al-Masih muncul dari
penakwilan ulang atas bentuk-bentukyang
didapatkan dari budaya Ibrani yang tertulis dan dari budaya Yunani yang mua'branah seperti malaikat, dan akal pertama. Dengan demikian, agama Kristen
sejakawal merupakan penafsiran.
Seperti halnya missionaris/tabsyir (Injil berarti basyarah) sejak awal didasarkan
pada dalil-dalil yang ditakwilkan dari berbagai kelompok asli. Dalam
hermeneutik Barat wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan olehpembaca, dunianya
dan realitasnya, bukan sesuatu yang diwahyukan oleh Allah, karenaAllah (penulis) dianggap telah mati dalam teks
agama seperti halnya teks-teks lainnya
D.MODEL TA’WIL DALAM FAKULTAS KEISLAMAN
1.Ta’wil Dalam al -Qur'an
Dalam
al-Qur'an, takwil berarti penafsiran dengan mendapatkan esensi, hakikat,inti
dan rujukan serta berbagai hasil. Metode analisa silam membedakan antara
mutlaksifat yang dan nisbi. Yang mutlak adalah dzat Tuhan sedangkan manusia
beserta sifat-sifatnya digolongkan nisbi. Dalam Islam, akal manusia dapat
mengetahui yang esensi, inti, hasil ilmu dan pengetahuan serta mengetahui
dunia yang empiris.
Oleh karena itu,terbuka lebar bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk menakwilkan
ayat-ayat Qur'an yang mutasyabih yang
berhubungan dengan tanda-tanda, pengetahuan, hukumdunia nyata dan empiris.
karena sebagian ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur'an dapatdiketahui oleh mereka
yang berilmu sedangkan sebagian yang lain tidak dapatdiketahui, maka muncullah
perbedaan antara mufassir pada Qs. Ali Imran : 3 ; sebagian
meng'atafkan kepada namun
sebagian yang lain tidak menganggapnya sebagai huruf 'athaf. Contoh yang lain yang dapat
kita temukan dalam al-Quran adalah semisalkonsep
keadilan dalam hal mu'amalah [Q.S. Isra': 35] yang ditakwilkan dengan balasan yang paling baik.
Begitu juga dengan
ayat-ayat yang lain, dalam arti kebolehan sesorang
untuk menta‟wilkan dalam hal ini adalah orang-orang pilihan Tuhan dan ahli
„Irfan. Semisal pena‟wilan Yusuf mengenai mimpinya
atau penglihatannya mengenai Malaikat : Dan
masih banyak ayat-ayat yang serupa dengan ini dalam arti
ta‟wil sebagaisebuah interpretasi atau ta‟wil dalam arti penafsiran sehingga
menbedakan anatarata‟wil barat dan Islam‟
2.Ta’wil
Dalam hadis
Dalam konteks Sunnah Nabawiyah, ta‟wil
semakna dengan tafsir. Cukup banyak hadis Nabi yang ditakwilkan
3.Ta’wil Secara Etimologitatif
Sebagai
perluasan makna terminologi takwil dalam al-Qur'an dan hadis,beberapa makna
takwil muncul dalam kamus. Dalam Lisan al-Arab oleh Ibn Manzur(630-711 H/
1233-1311 M), kita temukan takwil diartikan dengan mengetahui sumberdan hasil.
Kalimat yang tidak dapat dipahami secara tekstual memerlukan dalil yangdapat
membuka makna tersirat di atas makna tersurat teks tersebut.
Takwil adalahmemindah makna lahiriyah teks dari makna asli
kepada makna yang membutuhkan dalilyang seandainya tidak ada dalil
tersebut, maka makna lahiryah teks tidak akanditinggalkan.
4.Ta’wil Secara Terminologitatif
Takwil secara terminologi menurut Raghib
al-Ashfahani(502 H/1108 M) adalahkembali ke
asal dan mengembalikan sesuatu pada tujuan akhir yang diinginkan, baikpengetahuan
atau pun perbuatan.
Dan contoh Ta‟wil dalam bentuk pengetahuan
adalahfirman Allah “wama ya‟lamu
ta‟wilahu illallah warrasikhuna fil „ilmi”Sedangkan ta‟wil secara
terminologi menurut Al-Jurjani (740-817 H/1077-1143M) menyebutkan bahwa ta‟wil adalah
memalingkan lafaz dari makna zhahir kepadamakna
yang
muhtamal (potensi makna lain) apabila makna muhtamal
ini tidakberlawanan dengan al-Qur‟an dan al-Hadits. Misalnya dalam
firman Allah QS Al-An‟am ayat 95: Dari
segi tafsir makna ayat ini adalah Jika Allah berkehendak, maka Ia mengeluarkan burung dari dalam telur. Sedangkan dari segi ta‟wilnya, maka
maknanya: Jika Allah menghendaki, maka Ia mengeluarkan orang-orang mukmin dari
orang-orangkafir atau mengeluarkan orang-orang
„alim dari orang-orang bodoh.Sedangkan takwil dalam perspektif Tahawuni secara
etimologi berarti kembali.Dan pandangan
ahli Ushul, sebagian menyatakan sama dengan tafsir.
Sebagian lain mengatakan takwil adalah masih dalam taraf dugaan, sedangkan tafsir dalam
taraf keyakinan.Para ulama yang telah
membuat beberapa ensiklopedi dalam berbagaiterminologi Islam telah
menetapkan bahwa takwil yang benar memiliki beberapa syarat,yakni makna yang makna teks harus masih
memungkinkan bermakna lain, sesuai dengan logika pembentukan bahasa,
sesuai dengan ayat-ayat muhkam dan hadis mutawatir,
bahwa takwil hanyalah sebuah upaya di bawah maksud penulis,mengalihkan lafal
kepada makna yang terkalahkan menggantikan makna yang unggul disyaratkan adanya
dalil yang menguatkan makna terkalahkan, bahwa takwil harus terus mengikuti lingkup makna yang dikandung lafal.
Takwil
adalah mengarahkan kata kepada salah
satu makna yang dimuat terkandung dalam lafal. Selain itu,
mereka jugamensyaratkan keilmuan yang menyeluruh bagi mereka yang
menakwilkan.
5.Dalam Penafsiran Qur'an
Takwil tidak diterapkan pada ayat muhkam, baik
Qur'an dan sunnah. Sedangkanayat dan hadis yang masih mutasyabih masih terdapat
perbedaan, yang dikembalikankepada dasar-dasar yang pasti.Para mufassir telah
memaparkan penakwilan mereka. Mereka hampir sepakatakan kebolehan takwil bagi mereka yang mengetahui teks ternukil dan
teks ternalar. Dan bahwa sebagian ayat-ayat mutasyabih hanya dapat diketahui maksudnya olehAllah.
pengetahuan orang-orang yang berilmu hanyalah dinisbatkan pada maksud tersebut.
Sebagian ayat-ayat mutasyabih yang
berhubungan dengan alam, ayat-ayatkauniyah, pensyarai'atan dan hukum syari'at
dapat diketahui oleh orang-orang yangberilmu melalui kata-kata yang diberikan
Allah dalam ayat-ayat mutasyabih danberbagai
petunjuk yang terdapat dalam ayat muhkamat.
Yang dimaksud mutasyabih di sini adalah
hal-hal yang diinginkan yangdiisyaratkan
Allah mencakup masalah-masalah akhirat dan lafal-lafal makna lahirnyaberbeda
dengan makna yang dimaksud. Keberadaan mutasyabih pada masalah akhiratdalam
al-Qur'an tidak dapat dipungkiri, karena di antara rukun agama dan tujuan
wahyuadalah mengkhabarkan keberadaan akhirat. Penakwilan yang banyak
dilakukanmencakup lafal-lafal yang makna lahirnya berbeda dengan yang
dimaksudkan.Yang dimaksud orang yang berilmu di sini adalah orang-orang yang
mengetahuisampai ke akar permasalahan dan dapat menempatkan penakwilan dengan
baik.
E.ATURAN
ISLAM MENGENAI FILOSOFI TA’WIL
Imam Ghazali(450-505
H/1058-1111 M) adalah orang pertama yang membuataturan pasti dan terperinci
bagi takwil dalam Islam. Ia mengungkapkan posisi mayoritasfilosof dan teolog Islam terhadap takwil, tanpa mengecualikan antara
golongan batiniahataupun zahiriyah.
Berikut pemaparan al-Gazali:1.Tidak ada
tokoh Islam yang tidak memerlukan takwil, hingga mereka yang tidakmenekuni analisa secara rasional, seperti Ahmad
bin Hambal yang telah menakwilkan tiga Hadits saja.. 2.Tidaklah mudah membedakan sesuatu yang dapat
ditakwilkan dan yang tidakdapat ditakwilkan, bahkan hanya dapat dilakukan oleh orang
yang mahir,cemerlang dalam ilmu bahasa, mengetahui dasar-dasar bahasa,
tradisi orangArab dalam penggunaan bahasa
serta metode dalam membuat perumpaan. 3.Beberapa kelompok Islam telah sepakat bahwa penakwilan hanya
diperbolehkanketika memiliki dalil akan kemustahilan menggunakan makna lahir.
Makna lahiriyah pertama adalah makna asli. 4.Mereka sepakat bahwa jika
dalil tersebut telah pasti, maka diberikan keringanandiberikan untuk penakwilan, meskipun menggunakan makna jauh. Jika belum
pasti maka tidak diberikan keringanan kecuali hanya pada
penakwilan maknadekat yang memudahkan pemahaman.5.mereka sepakat bahwa tingkatan yang diterima
hanya lima, yaitu wujud dzati,hissi, khayali, aqliy, syibhi, yang
menjadi tingkatan dalam penakwilan.6.Para penakwil dikelompokkan menjadi
dua tingkat. Tingkatan awam dantingkatan
analisis.7.Mereka yang menakwilkan tanpa dalil dalam masing-masing
tingkatan belumtentu dianggap kufur.
Tergantung apakah penakwilannya berkaitan denganpermasalahan
akidah atau tidak. Dan akan dianggap kafir ketika berkaitandengan masalah akidah.8.Sebuah makna yang bertentangan terkadang
bertentangan dengan maknamutawatir dan dianggap sebagai makna yang ditakwilkan,
akan tetapidisebutkan sebagai sebuah penakwilan yang tidak memiliki dasar bahasa,
makadianggap kufur dan orang yang melakukannya berdosa, meskipun ia
menyangkabahwa makna itu adalah makna yang ditakwilkan.9.Jika seseorang mengingkari makna yang ditetapkan
berdasarkan hadis ahad,maka tidaklah dianggap kafir. Jika ditetapkan berdasarkan
berdasarkan ijma',maka dipertimbangkan terelbih dahulu.
Sedangkan Ibn Rusyd menekankan bahwa takwil
diperbolehkan dalam sebagian teks-teks syara'. Bagi
Ibn Rusyd, yang dimaksud takwil yang dilakukan berdasarkanketentuan takwil Arab adalah menggabungkan antara
makna yang ternalar dan maknaternukil, bukan menempatkan makna ternalar
menggantikan makna ternukil.
Pendapat Ibn Rusyd tentang takwil secara ringkas
adalah sebagai berikut:1.Takwil diperbolehkan 2.Hanya pada makna yang memiliki dalil kemustahilan
penggunaan makna lahir.3.Sesuai dengan
persyaratan
majaz, yang mengeluarkan petunjuk makna kata-kata dari
hakikat menjadi majaz.4.Tidak ada
kesepakatan ijma' yang diyakini bahwa yang dimaksudkan adalahmakna lahiriyah.5.adanya dukungan petunjuk makna lahiriyah dari
beberapa teks yangmenguatkan penakwilan. 6.Bertujuan menggabungkan antara yang ternalar dan ternukil,
bukanmembenturkan keduanya, melampaui salah satu ataupun menafikannya. 7.Takwil berlaku hanya untuk kalangan khusus yang
berilmu. Tidakdiperbolehkan bagi kalangan umum. Tidak boleh dituliskan
dalam buku-bukuumum, kecuali jika penakwilannya telah benar-benar valid
memenuhi syara-syarat dan ketentuan takwil.8.Tentang alam gaib, mukjizat,
dasar-dasar syari'ah, dan segala yang tidakmampu
diketahui hanya dengan akal manusia untuk dapat mengetahuiessensinya.
Ibn Rusyd mengharuskan mengambil makna lahiriyah, tidakditakwilkan.9.Berita
tentang yang gaib dan dasar-dasar syari'ah serta mukjizat tidak bolehditakwilkan, meskipun oleh para filosof. Para ulama setelah
mereka ketika menggunakan takwil ketakwaannya menjadi berkurang, banyak
bertentangan, semakin terpisah-pisah.
1.Ta’wil
bagi para sufi
Tujuan
penakwilan baik dalam sufi dalam segala keadaan, tingkatan, pembacaandan penakwilan adalah sampai pada tingkatan
tertinggi pemahaman atas tujuan penulis,tidak dengan terang-terangan mengakui matinya penulis.Dalam pemikiran Islam dan
sejarah peradaban umat Islam, tasawuf syar'imemiliki
perbedaan yang mendasar secara batin. Penakwilan dan pembacaan teksagama termasuk salah satu bidang yang dapat digunakan mengetahui inti perbedaanantara tasawuf dan penyimpangan aliran batiniyah.
Pembacaan kaum
sufi terhadap teks-teka agama memang berbeda denganpembacaan para filosof dan mufasir Qur'an. Namun, meskipun demikian
merekatidaklah berlebihan dalam seperti yang dilakukan oleh aliran
batiniyah. Kaum sufiberusaha membaca
membaca teks untuk sampai pada penulis dan maksud tulisannya.Sedangkan takwil
bagi aliran mengesampingkan apapun maksud penulis, seperti yangdilakukan
hermeneutik terhadap pengarang bagi teks buatan manusia dan terhadapTuhan bagi
Tuarat dan Injil.Pembacaan kaum sufi terhadap teks agama berusaha mennggapai
esensi dasarteks dan menggapai dunia teks tersebut tanpa mengorbankan ketentuan
bahasa ataupunkeimanan.
Dalam
pembacaan sufi terdapat tiga maqom, yaitu: mukmin yang telahma'rifah (yang telah bertemu Allah melalui
kalamullah dan mengetahui maknakhitabnya), muqarrabin umum (yang menyaksikan
dengan hati mereka seakan-akan Allah berdialog dengan kelembutannya),
dan ashabul yamin (yang melihat diri merekatelah bermunajat kepada Tuhan).
Seluruh maqom ini dalam setiap pembacaan merekaselalu mencari penulis, berusaha sampai pada sumber dan mencari esensi
maksud.Penakwilan hanya diberlakukan pada bagi kaum khawash, atau
khawashhulkhawash, dan Allahlah yang menunjukkan mereka. Takwil dalam sufi
adalahpembacaan hati yang menerima limpahan dan ilham Tuhan. Sedangkan akal
hanyalahsekedar saksi. Akan tetapi, tujuan takwil tidak lain hanyalah mencapai sang
penulis dan mencari esensi maksud ungkapannya.
2. Penakwilan Aliran Batiniyah
Penakwilan aliran batiniyah sama seperti penakwilan hermeneutik
terhadap teksagama dalam Turats barat. Yakni bahwa penakwilan
diberlakukan secara umum padasetiap teks tanpa membedakan antara yang muhkam
dan yang mutasyabih, tidakmenganggap peran bahasa. Seperti aliran Isma'iliyah
yang penakwilannya hampirmerusak Islam. Bagi mereka yang batin menghapus yang
lahir, hingga merekamenempatkan syari'at batin pada syari'ah
dzahir.
F.Penyimpangan
(Bid’ah) Hermeneutik dalam Studi Islam Modern
Kita tahu dari berbagai media bagaimana hermeneutik
Barat yang sekuler tumbuhsubur sejak masa pencerahan Eropa (renaisans) abad
ke-18 M-bagaimana hermeneutikitu berusaha untuk
memanusiakan agama, menggantikan manusia menempati posisiTuhan, dan menggantikan pembaca menempati posisi
wahyu seakan-akan manusialahyang menciptakan wahyu (teks agama)
tersebut. Sebagaimana hermeneutik berupayakeras mengucilkan nilai spiritual,
akhlak serta hukum-hukum agama dari sumbernya (Tuhan) bahkan sampai batas
wacana kemungkaran: “Sungguh Allah telah mati” sehingga dengan demikian hermeneutik telah memposisikan agama buatan
manusiamenempati agama yang diturunkan Tuhan sehingga menjadikan manusia tanpa
nilai-nilai ketuhanan dan bukanlah manusia yang memiliki nilai-nilai
ketuhahan yang Allah hembuskan dari
ruh-Nya.
Ta‟wil hermeneutik sekuler (hermeneutik
Barat) ini telah menyusupkan kerancuan ke dalam ta‟wil gnostik -mistik
(ta‟wil Islamiy) pada teks-teks agama sertamenyamaratakan semua teks sehingga
tidak ada bedanya antara teks mutawatir denganghairu mutawatir,
teks muhkam dengan teks mutasyabih atau antara teks wahyu denganteks non
wahyu. Ta‟wil hermeneutik sekuler ini cenderung bergerak menuju kebalikan dari ta‟wil Islamiy yang
berorientasi batiniah.
Maka ta‟wil batin mengklaim bahwa ia menggiring teks dari jasadnya ke ruhnya sementara
hermeneutik positivistik- sekulermenggiring teks dari ruh ke jasadnya atau
dengan istilah ekstrim menggiring agama darinilai-nilai ketuhanan menuju
nilai-nilai kealaman, dari dunia metafisika ke dunia fisika,dari wahyu menuju akal (rasio) dan eksperimen
panca indera (sense).Setelah hermeneutik memanusiakan Tuhan, memanusiakan
nubuwwah dan mengingkari adanya tanzil
dan i‟jaz al-Qur‟an dan wahyu serta mengingkari keabadianmakna-makna al-Qur‟an sertamemanusiakan alam ghaib.
Hermeneutik modern ini jugacenderung
mendewakan akal (rasio) dan indera (sense) terhadap wahyu dan alam ghaibserta
menyerukan: sesungguhnya rasio itu tidak membutuhkan bantuan, akal (rasio) itumengetahui kebaikan dan keburukan dan akal itu mampu untuk mengetahui
sifat-sifatbaik dan buruk terhadap sesuatu
sebagaimana halnya indera (sense), pengamatan(observasi) dan eksperimen mampu
untuk mengetahui baik dan buruk
G.Waba’du
Hermeneutik
Modern yang berusaha diterapkan dalam Islam, Allah, wahyu,alam gaib, dan kenabian merupakan penakwilan yang
buruk dan berlebihan, dimanapembaca didewakan dan Tuhan dimatikan tanpa pandang
bulu, baik pada hermeneutik Barat ataupun pada Islam, yang kemudian menyebabkan
kehancuran Nasrani Barat dankehampaan agama di Eropa, ketika tidak mampu
menjawab pertanyaan manusia yangseharusnya dijawab oleh agama.
Bahkan, hermeneutik modern menyatakan bahwa
ateisadalah dasar wahyu dan penyimpangan adalah makna asli keimanan. Ini
merupakanupaya sia-sia yang tidak perlu dikomentari.Demikianlah beberapa alur
pemikiran dan madzhab filsafat dalam peradabankita yang menolak penakwilan
sia-sia ini yang diperkenalkan oleh hermeneutik Baratyang sangat merusak teks, khususnya teks-teks agama.
BAB III
KOMENTAR
Sebagai contoh relevansinya Hermenutika dalam konteks penafsiran adalah,saya akan memaparkan sedikit titik relevantsi
hermenutika Pasca Strukturalisme yangdikembangkan Saussure. Dengan memperbandingkannya dengan metodologi Ilsammainstream.Secara umum, metode penelitian tafsir yang selama ini dikenal
terdapat empatklasifikasi, yaitu (1) tafsir tahlily „analitis‟, (2)
tafsir ijmaly „global‟, (3) tafs muqaran„perbandingan‟, dan(4)
tafsir maudhu‟i „tematik‟ (Al-
‟Aridl 1994:4).
Keempat konsep ini mudah disebutkan, tetapi tidak begitu mudah menuntun
orang ke pemahaman seluk-beluk metode untuk diturunkan ke teknik yang dimaksud,
karena keempat konseptersebut masih
memerlukan teknik yang bersifat operasional. Maka ancangan, metode,dan
teknik yang dipakai oleh kalangan linguistik struktural terutama yang
dipeloporioleh de Saussure dan dikembangkan oleh Bloomfield, dan lain-lain
dapat dijadikansebagai alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat Alqur‟an.
Teknik yang dimaksud adalah(1) teknik substitusi (ganti), (2) teknik
ekspansi (perluas), (3) teknik intrupsi (sisip), (4)teknik delisi (lesap), dan
(5) teknik permutasi.
Bila ditelaah, para mufassir yang telah menghasilkan
beberapa kitab tafsir yang cukup populer di
kalangan kita, seperti kitab tafsir al-Kasysyaf oleh al-Zamakhsyari,kitab
tafsir Jalalain oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, kitab
tafsir al-Baidhowi, dan lain-lain telah
meggunakan ancangan linguistik struktural. Sebuah karya yang lebih
dahulu dari pada munculnya konsep linguistik struktural tersebut perlumenjadi
perhatian untuk dikaji lebih mendalam agar tidak terjadi stagnasi metodologisterutama dalam membedah struktur kalimat pada
setiap ayat.
Dua contoh penafsiran di atas membuktikan bahwa para penafsir Alqur‟an
telah menggunakan analisis ilmiah terhadap satuan lingual kebahasaan dengan
ancangananalisis linguistik struktural dalam membedah makna yang terkandung di
dalam Alqur‟an.
Pada dasarnya Hermeneutika merupakan
sebuah metode kritik eksploratif untukmenginterpretasikan realitas teks-teks
Kitab Suci baik secara implisit maupun eksplisitdi mana Kitab Suci dipandang mempunyai kedudukan sebagai ultimate truth
(kebenaranyang Agung) namun dalam realitas hermeneutika merupakan suatu
teori filsafat tentang interpretasi makna dikenal sebagai salah satu model spesifik analisa yakni
sebagai pendekatan filosofis terhadap pemahaman manusia.
Fokus analisa hermeneutika adalahpersoalan makna teks atau yang
dianalogikan sebagai teks. Bahasa menjadi acuan wayof being bagi manusia dalam menggali kebenaran. Keterbatasan manusia dalammengungkapkan
bahasa Kitab Suci sering suatu pemahaman menjadi invaliditas dansemi validitas
tetapi setiap interpreter mengakui klaim kevaliditasnya.
Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an
merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai
sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika.
Artinya, sebagaisebuah perangkat
metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagianintegral
perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an.
Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan
mempertimbangkankonteks sosial pembaca
maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensialmakna teks,
mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakankumpulan
konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari
istilah-istilahmetodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an.
Penggunaan hermeneutika dalam Al-Qur‟an memberikan orientasi ekspansif pemahaman Al-Qur‟an dari having religious ke being religious dan
being human.Konsep having religious lebih
menitik-beratkan pada formalisme agama, sedangkanbeing religious dan being
human lebih menitikberatkan pada substansi dan nilai agama.Kemudian dilakukan
suatu transformative value melalui critical thinking yang bersandarpada
landasan atau perspektif kemaslahatan kontemporer.
Kecenderungan Al-Qur‟an dipahami selama ini lebih dominan sebagai kajian hukum
Islam (fiqh) denganpendekatan teoritis dan normatif dapat disebut melihat hukum
dalam konteks law inbooks, yaitu suatu
pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena normatif dalamrangka pencarian
atau penemuan asas dan doktrin hokum, sementara kecenderunganterapan yang
bersifat sosiologis dapat dipahami sebagai model pemahaman yangmelihat hukum
dalam kerangka law in action, yaitu suatu pemahaman yang melihathukum sebagai
fenomena sosial. Perubahan sosial, ekonomi,
budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadidalam dunia Islam yang
berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalumelibatkan proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi
besar) padawilayah alam pikiran, konsep,
ide, teori, keyakinan, dan gagasan.
Sedangkan littletradition (tradisi
kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori konsep, ide, keyakinan dan gagasan tersebut dalam
wilayah kehidupan konkrit padabudaya dan tatanan sejarah tertentu. Perubahan
(change) akan terjadi ketika tradisi baruyang datang mempunyai kekuatan dan
daya dorong yang besar dibandingkan dengantradisi keilmuan yang telah ada dan
mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datangmempunyai kekuatan dan daya
dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisikeilmuan yang lama, maka
yang terjadi adalah tidak adanya perubahan.
Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam
Dunia Islam yaitu pengalihan pemahaman Al-Qur‟an dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dannormatif berkisar pada formalisme agama Islam
menjadi hukum Islam yang kontekstualsesuai dengan sosiologis legal formal
sekarang ini. Kontribusi teori double movementFazlur Rahman mencoba melakukan
terobosan baru dengan merekonstruksi pemahamanterhadap Al-Qur‟an yang
compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran
hermeneutika
.