Hermeneutika 'Imarah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pendekatan yang lazim dilakukan oleh para ahli tafsir di dalam melakukan studi interpretasi teks al-Qur‟an adalah menggunakan pendekatan bahasa. Dalam hal ini bukannya kita tanpa bukti untuk mengatakan bahwa sepanjang sejarah peradaban umatIslam telah menunjukkan bahwa para ahli tafsir sejak masa sahabat di kala itu yangterkenal adalah Ibnu Abbas, sampai muncul berbagai ahli tafsir yang terkenal yangditulis di era moderen, dan bahkan para islamisis barat sekalipun, tidak ketinggalanuntuk menggunakan pendekatan bahasa tersebut.
Dalam realisasinya pendekatan bahasamerupakan salah satu pendekatan yang sangat memungkinkan dalam studi ilmu tafsiral-Qur‟an. Karena al-Qur‟an representasi nilai religius teologi muslim yang bercorak bahasa. Oleh karena itu maka sepantasnya, untuk mengkaji al-Qur‟an setidaknya diperlukan suatu alat analisis yang sama dengan corak yang dimilikinya. Yaitu pendekatan bahasa. Bersamaan dengan perkembangan teori- teori ilmu pengetahuan di bidang bahasa. Ternyata ilmu liguistik modern telah memiliki peran yang signifikan terhadapperkembangan pendekatan studi al-Qur‟an.
Beberapa intelektual Muslim, telah mencoba mengembangkan teori-teori tersebut dalam studi al-Qur‟an. Dalam kontek ini masih berada dalam bingkai ilmu liguistik, sebagimana yang telah dikembangkan oleh seoranglinguistik moderen, Ferdinan de Saussure. Namun, didalam aplikasinya terhadap studi al-Qur‟an terdapat perbedaan satu sama lain. Saussure telah membuktikan dirinya sebagai ahli linguistik histories yang sangat cemerlang. yatitu tentang strukturalismeliguistik Yang akhirnya tanpa disadari oleh Saussure sendiri, buah pikirannyalah yangsebenarnya yang lebih banyak menyebabkan timbulnya revolusi dalam kajian bahasa .
Perubahan itu selain disebabkan oleh wawasannya tentang pembahasan bahasa secarasinkronis, antara lain juga dilandarsi oleh wawasannnya tentang keberadaan bahasasebagai suatu relasi struktural sebagai suatu sistem unik yang berbeda antara bahasayang satu dengan bahasa yang lain. Sebab itulah kajian kebahasaan dalamstukturalisme, meskipun dapat terfokus pada unit- unit tertentu.
Strukturalisme banyak dilihat sebagai pendekatan secara diametral terpisah dengan hermeneutika, hermeneutika adalah dialektika dan gerak kembali dan seterusnyadari teks menuju interpreter dari teks menuju segala kemungkinan konteks dalammembangun makna terkini dari suatu teks , yang akhirnya hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutika dalam pandangan klasik maupundalam pandangan moderen.
Sedangakan strukturalisme sering kali dilihat secara positivistik, mengafkirkan asumsi-asumsi epistimologis hermeneutika dan menjarakiteks dari berbagai perhatian subjektif suatu kritik.Tetapi ada tokoh yang mengkritik hermeutika, yaitu Muhammad Imarah. Beliaubanyak menentang penggunaan hermeneutika dalam menafsirkan teks-teks agama.Termasuk al-Qur‟an Dan al-Hadits. Salah satu kritikannya adalah ketika beliumengatakan dalam salah satu karangannya bahwa hermeutika merupakan ilmu tentang kematian pengarang.
B.PROFIL SINGKAT MUHAMMAD ‘IMARAH
 1.Kelahiran, Kehidupan
Muhammad Imarah atau sering dikenal dengan sebutan Imarah adalah pemikirIslam yang berlian, Ia dilahirkan tahun 1931 M, di Desa Sharwah-Qalain Provinsi Kafr Al-Syaikh Mesir. Dalam kehidupannya beliau termasuk orang yang sangat beruntungkarna hidup ditengah– tengah yang amat mengerti dengan agama, walau secara ekonomiia masih tergolong keluarga yang sederhana berstatus petani. Akan tetapi semangat ilmu orang tuanya mengantarkan pemikirannya untuk terus berkosentrasi akan pentingnyailmu dan pengetahuan. Dan semangat itu pun berlanjut sampai ia memasuki jenjang Pendidikan Tinggi.
Sebagaimana tradisi Ulama‟ Islam, Muhammad Imarah telah mampu menghafal al-Quran melalui kutab semasa pendidikannya di Sekolah Dasar. Pada 1945 ia masuk sekolah menengah “Ma‟had Dasuqi al-Diny” yang berada di bawah al-Azhar.Kemudian pada 1949 dia masuk sekolah Tsânawiyah (setarap SMA) di “Ma‟had Thanta al-Ahmadi” yang juga menjadi underbow al-Azhar dan keluar pada 1954. Mulai saat  inilah bakat dan perhatian Imarah terhadap persoalan politik, kebudayaan dan sosialmulai muncul. Dia pun mulai sering menulis artikel maupun puisi di berbagai jurnal dan majalah seperti di Misru al-Fatâh, Mimbar al-Syarq, al-Masry, al-Kâtib dan lain-lainnya.
Kemudian ia melanjutkan studi formalnya ke jenjang perguruan tinggi di Dârul Ulum Cairo-University pada 1954 pada fakultas Bahasa Arab dan Ilmu Syariah.Setelah selesai dari pendidikan perguruan tinggi, ia mulai mencurahkan waktudan perhatiannya kepada proyek pemikiran tokoh-tokoh Islam. Karya perdananya berjudul Al-Qawmiyah Al-Arabiyah diterbitkan 1958, yang berhasil dua kali naik cetak.Lalu ia mulai mengumpulkan data dan mengkaji pemikiran serta gagasan para tokohyang menurutnya sangat berpengaruh (dalam proyek al-a’mal kâmilah). Seperti, Rifa‟ah Thahtâwi, Jamaluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, Abdurrahman al-Kawâkibi, AliMubarak, Qâsim Amin.
Kemudian tentang tokoh pemikir pembaru, ia menulis beberapa tokoh terkenal, seperti: Abd. Razak al-Sanhuri Basya, Muhammad Ghazali, UmarMakram, Musthafa Kamil, Khoiruddin al-Tunisi, Rasyid Ridha, Abd. Hamid bin Badĩs, Muhammad Khidir Husein, Abul A‟la al-Maududi, Hasan al-banna, Sayid Qutub,Muhammad Syaltut dan lain-lain.Pada tahun 1970 M, ia meraih gelar Master dalam bidang Filsafat Islam di Dârululum-Cairo University, dengan judul tesis “ Mu‟tazilah dan Problematika KebebasanManusia”. Kemudian pada 1975 gelar Doktor diraihnya dengan disertasi doktoral “Al-Islâm wa Falsafat Al-Hukm”, yang dicetak berkali-kali sampai saat ini, juga dari universitas yang sama.
2.Karya-karya
a) Karangan Pribadi
1) Ma`âlim al-Manhaj al-Islâmy, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).2) Al-Islâm wa al-Mustaqbal, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).3) Nahdhatuna al-Hadîtsah baina al-`Ilmâniyyah wa al-Islâm, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).4) Ma`ârik al-`Arab Dhidzdz al-Ghazâh, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1998).5) Al-Ghârah al-Jadîdah `ala al-Islâm, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1998).6) Jamâluddîn al-Afghâny baina Haqâiq at-Târîkh wa Akâdzîb Luis `Iwadh,(Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).7) Asy-Syaikh Muhammad al-Ghazâli: al-Mauqi` al-Fikry wa al-Ma`ârik al-Fikriyah, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1998).8) Al-Wa`y bi at-Târîkh wa Shinâ`t at-Târîkh, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).9) At-Turâts wa al-Mustaqbal, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).10) Al-Islâm wa at-Ta`addudiyah:at-Tanawwu` wa al-Ikhtilâf fî Ithâr al-Wuhdah, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997) 11) Al-Ibdâ` al-Fikry wa al-Khushûshiyah al-Hadhâriyah, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).12) Ad-Duktûr `Abdur Râziq Syanhûry Bâsyâ: Islâmiyah ad-Daulah wa al- Madaniyah wa al-Qanûn, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1999).13) Al-Islâm wa as-Siyâsa:ar-Radd `ala Syubhât al-`Ilmâniyyîn, (Kairo: Dârel-Rasyâd, 1997 & Jeddah: Markaz ar-Râyah, 2003).14)Al-Islâm wa Falsafat al-Hukm, (Dâr el-Syurûq, 1998).15) Ma`rakah al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, (Dâr el-Syurûq, 1997).16) Al-Islâm wa al-Funûn al-Jamîlah, (Dâr el-Syurûq, 1991).17) Al-Islâm wa Huqûq al-Insân, (Dâr el-Syurûq, 1989 & Jeddah: Markaz ar-Râyah, 2003).18) Al-Islâm wa ats-Tsaurah, (Dâr el-Syurûq, 1988).19) Al-Islâm wa al-`Urûbah, (Dâr el-Syurûq, 1988).20) Ad-Daulah al-Islâmiyyah baina al-`Ilmâniyyah wa as-Sulthah ad-Dîniyyah,(Dâr el-Syurûq, 1988).21) Hal al-Islâm Huwa al-Hill? Limâdzâ? Wa Kaifa?, (Dâr el-Syurûq, 1998).22)Suqûth al-Ghuluww al-`Ilmâny, (Dâr el-Syurûq, 2002).23) Al-Ghazw al-Fikry Wahm am Haqîqah?, (Dâr el-Syurûq, 1997).24) Ath-Tharîq ila al-Yaqdhah al-Islâmiyya, (Dâr el-Syurûq, 1990).25)Tayyârat al-Fikr al-Islâmy, (Dâr el-Syurûq, 1997).26) Ash-Shahwah al-Islâmiyyah wa at-Tahaddy al-Hadhâry, (Dâr el-Syurûq,1997).27) Al-Mu`tazilah wa Musykilah al-Hurriyyah al-Insâniyyah, (Dâr el-Syurûq,1988).28)`Indama Ashbahat Mishr `Arabiyyah Islâmiyyah, (Dâr el-Syurûq, 1997).29) Al-`Arab wa at-Tahaddy, (Dâr el-Syurûq, 1991).30) Muslimûn Tsawwâr , (Dâr el-Syurûq, 1988).31) At-Tafsîr al-Markisy li al-Islâm, (Dâr el-Syurûq, 2002).32) Al-Islâm baina at-Tanwîr wa at-Tazwîr , (Dâr el-Syurûq, 2002).33) At-Tayyâr al-Qoumy al-Islâmy, (Dâr el-Syurûq, 1996).34) Al-Islâm wa al-Amn al-Ijtimâ`iy, (Dâr el-Syurûq, 1998).35) Al-Ushûliyyah baina al-Gharb wa al-Islâm, (Dâr el-Syurûq, 1998).36) Al-Jâmi`ah al-Islâmiyyah wa al-Fikrah al-Qoumiyyah, (Dâr el-Syurûq,1994).37)Qâmûs al-Mushthalahât al-Iqtishâdiyyah fî al-Hadhârah al-Islâmiyyah,(Dâr el-Syurûq, 1993).38)`Umar ibn Abdul Azîz, (Dâr el-Syurûq, 1988).39) Jamâluddîn al-Afghâny: Mûqizh asy-Syarq(Dâr el-Syurûq, 1988).40) Muhammad `Abduh: Tajdîd ad-Dunya bi Tajdîd ad-Dîn, (Dâr el-Syurûq,1988).41)`Abdurrahmân al-Kawâki, (Dâr el-Syurûq, 1988).42) Abû al-A`lâ al-Maudûdi, (Dâr el-Syurûq, 1988).43) Rifâ`at Thahthâwî , (Dâr el-Syurûq, 1988).44)`Ali Mubârak , (Dâr el-Syurûq, 1988).45)Qâsim Amîn, (Dâr el-Syurûq, 1988).46) At-Tahrîr al-Islâmy li al-Mar‟ah, (Dâr el-Syurûq, 2002).47) Asy-Syarî`ah al-Islâmiyyah wa al-`Ilmâniyyah al-Gharbiyyah, (Dâr el-Syurûq, 2002).48) Ma`rakah al-Mushthalahât baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: NahdhahMesir, 1997).49) Al-Quds asy-Syarîf Ramz ash-Shirâ` wa Bawwâbah al-Intishâr , (Kairo:Nahdhah Mesir, 1997).50) Hâdzâ Islâmunâ: Khulâshât al-Afkâr , (Dâr el-Wafâ‟, 2002). 51) Ash-Shahwah al-Islâmiyyah fî `Uyûn al-Gharbiyyah, (Kairo: NahdhahMesir, 1997).52) Al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).53) Abû Hayyân at-Tauhîdy, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).54) Ibn Rusyd baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).55) Al- Intima‟ ats-Tsaqafy, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).56) At-Ta`addudiyyah: ar- Ru‟yah al -Islâmiyyah wa at-Tahaddiyât al-Gharbiyyah, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).57)Shirâ` al-Qiyam baina al-Ghrab wa al-Islâm, (Kairo: Nahdhah Mesir,1997).58) Ad-Duktûr Yûsuf Qardhâwi: al-Madrasah al-Fikriyyah wa al-Masyrû` al-Fikry, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).59)`Indama Dakhalat Mishr fî Dîn Allah, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).60) Al-Harakât al-islâmiyyah: Ru‟yah Naqdiyyah, (Kairo: Nahdhah Mesir,1998).61) Al-Manhaj al-`Aqliy fî Dirâsât al-`Arabiyyah, (Kairo: Nahdhah Mesir,1997).62) An-Namûdzaj ats-Tsaqâfy, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).63)Tajdîd ad-Dunya bi Tajdîd ad-Dîn, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).64) Ats-tsawâbit wa al-Mutaghayyirât fî Fikr al-Yaqdhah al-Islâmiyyah al- Hadîtsah, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1997).65) Naqdh Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).66) At-Taqaddum wa al-ishlâh: bi at-Tanwîr al-Gharby aw bi at-Tajdîd al- Islâmy?, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).67) Al-Hamlah al-Faransiyyah fî al-Mîzân, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).68) Al-Hadhârât al-`Âlamiyyah: Tadâfu` am Shirâ`?, (Kairo: Nahdhah Mesir,1998).]69) Islâmiyyah ash-Shirâ` baina al-Quds wa Filisthîn, (Kairo: Nahdhah Mesir,1998).70) Al-Quds baina al-Yahûdiyyah wa al-Islâm, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).71) Al-Aqalliyyât ad-Dîniyyah wa al-Qaumiyyah: Tanawwu` wa Wuhdah amTaftît wa Ikhtirâ`?, Kairo: Nahdhah Mesir, 1998).72) As-Sunnah an-Nabawiyyah wa al-Ma`rifah al-Insâniyyah, (Kairo: NahdhahMesir, 2000).73)Khathar al-`Ûlamah `ala al-Hawiyyah ats-Tsaqafiyyah, (Kairo: NahdhahMesir, 1999).74) Mustaqbaluna baina al-`Âlamiyyah al-Islâmiyyah wa al-Ûlamah al-Gharbiyyah, (Kairo: Nahdhah Mesir, 2000).75)Fî at-Tahrîr al-Islâmy li al-Mar‟ah, (Kairo: Nahdhah Mesir, 2003).76) Al-Mustaqbal al-Ijtimâ`iy li al-Ummah al-Islâmiyyah, (Kairo: NahdhahMesir, 2003).77) Hal al-Muslimûn Ummah Wâhidah?, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1999).78)  Al-Ghinâ‟ wa al -Mûsiqy: Halâl am Harâm?, (Kairo: Nahdhah Mesir, 1999).79)Syubhât Haula al-Qur'an al-Karîm, (Kairo: Nahdhah Mesir, 2003). 80)Tahlîl al-Wâqi‟ bi Minhâj al -`Âhât al-Muzminah, (Kairo: Nahdhah Mesir,1999).81) Al-Hiwâr baina al-Islâmiyyîn wa al-`Ilmâniyyîn, (Kairo: Nahdhah Mesir,2000).82) Adh-Dhâhirah al-Islâmiyyah – al-Mukhtâr al-Islâmy, (1998).83)al-Wasîth fî al-Madzâhin wa al-Mushthalahât al-Islâmiyyah, (Kairo:Nahdhah Mesir, 1999).84) Islâmiyyât Sanhûri Bâsyâ, (Dar el-Wafâ‟: 2003). 85) An-Nashsh al-Islâmy baina al-Ijtihâd wa al-Jumûd wa at-Târîkhiyyah,(Damaskus: Dâr el-Fikr, 1998).86) Azmah al-Fikr al-Islâmy al-Hadîts, (Damaskus: Dâr el-Fikr, 1998).87) Al-Mâdiyyah wa al-Matsâliyyah fî Falsafah Ibn Rusyd , (Dâr el-Ma`ârif:1983).88) Al-`Athâ‟ al -Hadhâry li al-Islâm, (Dâr el-Ma`ârif: 1998).89) Islâmiyyah al-Ma`rifah Madzâ Ta`ny, (Dâr el-Ma`ârif: 1999).90) Al-Islâm wa Dharûrah at-Taghyîr , (Dâr el-Ma`ârif: 2001).91) Al-Islâm wa al-Harb ad-Dîniyyah, (Dâr el-Ma`ârif: 2002).92) Tsaurah az-Zanj, (Dâr el-Wuhdah: 1980).93) Dirâsât fî al-Wa`y bi at-Târîkh, (Dâr el-Wuhdah: 1984).94) Al-Islâm wa al-Wuhdah al-Qaumiyyah, (Beirut: Lembaga Kajian Arab,1979).95) Al-Islâm wa as-Sulthah ad-Dîniyyah, (Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1980).96) Al-Islâm baina al-`Ilmâniyyah wa as-Sulthah ad-Dîniyyah, (Kairo: DârTsâbit, 1982).97)Fikr at-Tanwîr baina al-Islâmiyyîn wa al-`Ilmâniyyîn, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟,1995).98) Salâmah Mûsa: Ijtihâd Khâthi‟ am `Ammâlah Hadhâriyyah ?, (Kairo: Dârel-Wafâ‟, 1995). 99) Al-`Âlam al-Islâmy wa al-Mutaghayyirât ad-Dauliyyah, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟, 1997) 100) Âlamunâ: Hadhârah am Hadhârât?, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟, 1997). 101) Al-Jadîd fî al-Mukhaththath al-Gharby Tijâh al-Muslimîn, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟, 1997). 102) Al-`Ilmâniyyah baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Dâr el-Wafâ‟, 1996). 103) Muhammad Abduh: Sîratuhu wa A`mâluhu, (Beirut: Dâr el-Quds, 1978).104) Nadzrah Jadîdah ila at-Turâts, (Damaskus: Dâr el-Qutaibah, 1988).105) Al-Qaumiyyah al-`Arabiyyah wa Mu‟âmarât Amrîka Dhidda Wuhdah al-`Arab, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1958).106) Al-Fikr al-Qâ‟id li ats-Tsaurah al-Irâniyyah, (Kairo: Dâr Tsâbit, 1982).107) Dhâhirah al-Qaumiyyah fî al-Hadhârah al-`Arabiyyah, (Kuwait, 1983).108) Rihlah fî `Âlam ad-Duktûr Muhammad `Imârah, (Beirut: Dâr el-Kitâb al-Hadîts, 1989).109) Nadhariyyah al-Khilâfah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr ats-Tsaqâfah al-Jadîdah, 1980).110) Al-`Adl al-Ijtimâ`iy li Umar ibn Khaththâb, (Kairo: Dâr ats-Tsaqâfah al-Jadîdah, 1978).111) Al-Fikr al-Ijtimâ`iy li `Ali ibn Thâlib, (Kairo: Dâr ats-Tsaqâfah al-Jadîdah,1978).112) Isrâîl Hal Hiya Sâmiyah?, (Kairo: Dâr el-Kitâb al-`Araby, 1968) 113) Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm: Dirâsât wa Watsâ‟iq, (Beirut: Lembaga KajianArab, 1985).114) Ad-Dîn wa ad-Daulah, (al-Hai‟ah al-`Âmmah li al-Kuttâb, 1997).115) Al-Istiqlâl al-Hadhârah,(al-Hai‟ah al-`Âmmah li al-Kuttâb, 1993).116)Al Islâm wa Qadhâya al-`Ashr , (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).117) Al-Islâm wa al-`Urûbah wa al-`Ilmâniyyah, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1981).118) Al-Farîdhah al-Ghâibah: `Aradh wa Hiwâr wa Taqyîm, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1983).119) At-Turâts fî Dhau‟ al -`Aql, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).120)Fajr al-Yaqdhah al-Qaumiyyah, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).121) Al-`Urûbah fî al-`Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).122) Al-Ummah al-`Arabiyyah wa Qadhiyyah al-Wuhdah, (Beirut: Dâr el-Wuhdah, 1984).123) Akdzûbah al-Idhthihâd ad-Dîny fî Mishr , (Kairo: Dewan Tinggi UrusanKeislaman, 2000).124)Fî al-Mas‟alah al -Qibthiyyah: Haqâiq wa Auhâm, (Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2001).125) Al-Islâm wa al-Âkhar: Man Ya`tarif bi Man? Wa Man Yunkir Man?, (Kairo:Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2001).126)Fî Fiqh al-Muwâjahah baina al-Gharb wa al-Islâm, (Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2003).127) Al-Islâm wa al-Aqalliyyât: al-Mâdhy wa al-Hâdhir wa al-Mustaqbal,(Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2003)128) Mustaqbalunâ baina at-Tajdîd al-Islâmy wa al-Hadâtsah al-Gharbiyyah,(Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2004).129) Al-Gharb wa al-Islâm: Aina al- Khatha‟? wa Aina ash-Shawâb?, (Kairo:Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2004).130) Maqâlât al-Ghuluww ad-Dîny wa al-Lâdîdny, (Kairo: Maktabah asy-Syurûqad-Dauliyyah, 2004).131)Fî Fiqh al-Hadhârah al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2003).132)Fî al-Masyrû` al-Hadhâry al-Islâmy, (Jeddah: Markaz ar-Râyah, 2003).133) Min A`lâm at-Tajdîd al-Islâmy, (Jeddah: Markaz ar-Râyah, 2003).134)Syubhât wa Ijâbât Haula al-Qur'an al-Karîm, (Kairo: Dewan Tinggi UrusanKeislaman, 2001).135) Al-Imâm al-Akbar asy-Syaikh Mahmûd Syaltût , (Kairo: Dewan TinggiUrusan Keislaman, 2001).136)Syubhât wa Ijâbât Haula Makânah al-Mar‟ah fî al -Islâm, Vol. I, II, III,(Kairo: Dewan Tinggi Urusan Keislaman, 2001
b)Hasil Suntingan dan Penelitian
1. Al-A`mâl al-Kâmilah Li Rifâ`ah ath-Thahthâwi, (Beirut: Lembaga KajianArab, 1973).2. Al-A`mâl al-Kâmilah Li Jamâluddîn al-Afghâni, (Beirut: Lembaga KajianArab, 1979).3. Al-A`mâl al-Kâmilah Li al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Dâr el-Syurûq,1993) 4. Al-A`mâl al-Kâmilah Li Abdurrahmân al-Kawâkibi, (Beirut: Lembaga KajianArab, 1975).5. Al-A`mâl al-Kâmilah Li Qâsim Amîn, (Kairo: Dâr el-Syurûq, 1989).6. Rasâ‟il al -`Adl wa at-Tauhîd , (Kairo: Dâr el-Syurûq, 1987).7.Kitâb al-Amwâl Li `Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, (Kairo: Dâr el-Syurûq, 1989).8. Risâlah at-Tauhîd Li al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Dâr el-Syurûq,1993).9. Al-Islâm wa al-Mar‟ah fî Ra‟y al -Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Dâr el-Rasyâd, 1997).10.Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Hikmah wa asy-Syarî`ah min al-Ittishâl,(Kairo: Dâr el-Ma`ârif, 1999).11. At-Taufîqât al-Ilhâmiyyah fî Muqâranah at-Tawârîkh Li Muhammad Mukhtâr  Bâsyâ al-Mishry, (Kairo: Dewan Tinggi Urusan Keislaman, 2004).12. Asy-Syarî`ah al-Islæmiyyah Shâlihah Li Kull az-Zamân wa Makân Li asy-Syeikh Muhammad al-Khadhr Husain, (Mesir: Nahdhah, 1999).13. As-Sunnah wa al-Bid`ad Li asy-Syeikh Muhammad al-Khadhr Husain,(Mesir: Nahdhah, 1999).14. Rûh al-Hadhârah al-Islâmiyyah Li Syeikh al-Fâdhil ibn `Âsyûr , (Mesir:Nahdhah, 2003)..
c)Sanggahan-sanggahan
1. Azmah al-`Aql al-`Araby, (Kairo: Dâr an-Nahdhah Mishr, 2003).2. Al-Muwâjahah baina al-Islâm wa al-`Ilmâniyyah, (Kairo: Dâr al-Âfâq ad-Dauliyah, 1413 H).3.Tahâfut al-`Ilmâniyyah, (Kairo: Dâr al-Âfâq ad-Dauliyah, 1413 H)
d)Karangan Kolektif
1. Al-Harakah al- Islâmiyyah: Ru‟yah Mustaqbaliyyah, (Kuwait, 1989).2. Al-Qur'an,(Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1972).3. Muhammad Saw.,(Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1972).4.Umar ibn Khaththâb, (Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1973).5. Ali ibn Thâlib, (Beirut: Lembaga Kajian Arab, 1974).6.Qâri`ah September , (Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyah, 2002).7. Haqâiq al-Islâm fî Muwâjahah Syubhât al-Musyakkikîn, (Kairo: DewanTinggi Urusan Keislaman, 2002).8. Al-Islâm fî `Uyûn al-Gharbiyyah.9.Qirâ‟ah an-Nashsh ad-Dîny baina at-Ta‟wîl al -Gharby wa at-Ta‟wîl al - Islâmy.10. Maqâm al-`Aql fî al-Islâm.11. Al-Futûhât al-Islâmiyyah: Tahrîr am Tadmîr?

BAB II
PEMBAHASAN PEMIKIRAN MUHAMMAD IMARAH
(Sinopsis Isi Kitab)
A.PENGANTAR
Hermeneutik muncul dari filsafat pencerahan positif Eropa pada abad ke18 Hyang merupakan perkembangan dari takwil yang dikenal dalam pemikiran barat sejakabad Yunani yang menganggap Tuhan telah mati ketika menakwilkan teks-teks agamakaum Yahudi dan Nasrani, dan bahwa pengarang telah mati ketika menafsirkan teks-teks sastra dan seni.
Dalam pemikiran barat hermeneutik adalah ilmu memahami teksdimana petunjuk makna dan tujuan menempati posisi makna.Takwil muncul sebagai upaya pembaca dalam melepaskan diri dari teks-teks.Untuk menghadapi teks-teks yang memiliki kekuatan, mempengaruhi pemikiran dansosial, muncullah takwil untuk melepaskan diri dari kekuatan dan pengaruh tersebut.
Tujuan dari takwil, yang berusaha menembus teks hingga mencapai maknaterdalamnya yang sebenarnya akan memunculkan makna majas bagi teks tersebut,beragam:1.Terbebas dari batasan teks kitab suci guna mensingkronkan kandungan teksdengan pendapat penakwil. 2.Terbebas dari batasan teks kitab suci untuk mensingkronkan antara pemahamantekstual dan pemahaman rasional. 3.Ingin memperjelas kitab suci guna memperdalam pengetahuan yang dimiliki.
Takwil yang berusaha melepaskan diri dari teks tidak hanya terbatas pada teks-teks agama saja akan tetapi digunakan dalam teks-teks lain yang memiliki pengaruh baik dalam budaya ataupun masyarakat.Seperti ketika syair Hermirus (19 SM) yang memiliki pengaruh ia pun mulaiditakwilkan oleh para pendukung aliran kalbiyah.Lalu Ziyus (kebesaran Tuhan)dita'wilkan dengan Logos (akal pertama). Sebuah penakwilan yang keluar dari maknatekstual berganti dengan berbagai makna konkrit, yakni makna lahir menjadi maknabatin, mengganti makna hakiki menjadi makna majazi.Takwil seperti ini bagi kaum Yahudi pada periode perjanjian lama sudah dilakukan.
Mereka menafsrikan Abraham (Ibrahim) menjadi "cahaya" (akal), Sarah(Isterinya) menjadi keutamaan. Pada masa Filon (20SM-54M) takwil seperti ini menjadi aliran dan metode dalam memahami kitab suci. Bagi Filon , takwil dengan makna terdalam adalah mengganti makna lahir teks dengan ruh dan hakikat maknanya.Sehingga, surga ditafsirkan dengan alam ruh. Sejak itulah (abad pertama Masehi) takwil intrinsik (batini) ini mulai terbentuk menjadi sebuah metode penafsiran.
Bagi kaum Nasrani, takwil intrinsik ini dimulai oleh Origen (185-254M) yangdipengaruhi oleh Filon. Ia menyatakan bahwa dalam membaca Injil ada tiga level. (1)orang sederhana cukup memahami "tubuh" kitab suci; (2) orang yang pemahamannyalebih maju akan mengetahui "ruh" kitab suci; (3) orang yang sempurna adalah orangyang dapat memahami kitab suci dengan jiwa yang telah melihat alam gaib.Bagi Origen, Injil tidak mungkin memahami seluruh Injil secara harfiah. Harusdibedakan antara redaksi yang dapat dipahami secara tekstual dan yang harus dipahamiditakwilkan secara intrinsik.
Sejak saat itu, seluruh kecenderungan pemikiran Nasranimenggunakan takwil intrinsik.Pada abad pertengahan tiga petunjuk makna (dalalah) yang pernah dikatakanoleh Origen berubah menjadi empat yang kemudian mencapai klimaksnya pada masa Tuman ikwaini (1225-1274 M), yaitu:a.Dalalah Harfiyah : Petunjuk makna tekstual b.Dalalah Majaziyah : petunjuk alegoris c.Dalalah akhlaqiyah : petunjuk tropologi dan d.Dalalah al-Bathiniyah : petunjuk anagogik.
Petunjuk makna tekstual, majas dapat dipahami dengan membaca, sedangkan Petunjuk makna tropologi dan anagogi diperoleh dengan penghayatan. Bagi saya,masing-masing sejarah takwil intrinsik ini dalam sejarah pemikiran Barat, baik yangberhubungan dengan teks agama ataupun teks manusia, hanyalah berkisar tingkat overstatement (ghulub) dan moderat.
Sudah barang tentu, berbagai takwil ini hanyadimaksudkan untuk mencari makna hakikat teks dan hakikat maksud redaksi teks. Samasekali tidak ada upaya untuk memisahkan (qatii'ah) antara pembaca (penafsir), sumberteks dan penulis. Pemisahan baru muncul pada masa pencerahan (tanwir ) barat denganfilsafat intrinsik (batini).

B.HERMENEUTIKA :ILMU KEMATIAN SANG PENGARANG!
Filsafat pencerahan Barat terus hidup bersama Moralitas (akhlakiyah) Kristianidan dianggap sebagai sebuah proses wajib dan berguna dalam menentukan perilakukhalayak banyak. Akan tetapi, filsafat pencerahan barat tersebut memutus hubunganmoralitas umat Kristiani dengan Tuhan dan menakwilkan teks agama denganpenakwilan yang membebaskan pemahaman pembaca dari maksud yang diinginkandalam teks Tuhan tersebut.
Dari sinilah hermeneutik menjadi semakin banyakdigunakan dalam penakwilan.Kesuksesan Coeur Nikos dalam ilmu alam mempengaruhi dunia pemikiran dansastra serta sosial seluruh masyarakat Eropa, termasuk filsafat, kemanusiaan dan agama.Semua orang berupaya membentuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial seperti ilmu alamtermasuk metode dalam ilmu alam.
Bahkan mereka berusaha menempatkan agama alam sebagai pengganti agama Tuhan .Jol Ricoeur mengatakan: hermeneutik telah lahir pada abad ke-18 M karenaCoeur Nikos mengajukan pertanyaan Bagaimana pemahamannya? Sebagai penggantipertanyaan: Apa arti teks ini, atau arti paragraf teks ini, baik teks kitab suci ataupunbukan.
Kembangkitan hermeneutik pada abad 18 M tersebut menegaskan akankematian pengarang atau penutur, mengesampingkan tujuan pengarang atau penutur,menempatkan petunjuk makna (dalalah) yang merupakan pemahaman individupembaca menggantikan makna yang diinginkan oleh penulis dalam teksnya, baik teksagama ataupun bukan.Jarak antara penulis dan pembaca membelenggu pembaca ketika berhadapandengan teks.
Beberapa pertanyaan muncul dalam memahami teks: Apakah pembacamampu memahami teks dengan benar? Apa yang dimaksud pemahaman yang benarterhadap teks? Adakah pemahaman tunggal? Dari mana munculnya petunjuk makna,penutur, pembaca atau Teks? Jawabannya_dulu, tentu petunjuk makna muncul daripengarang, akan tetapi karena berkembangnya kajian atas teks-teks seni menjadikan pembaca yang memainkan peran penting dalam memahami teks, sehingga dapatdikatakan pembacalah yang menghasilkan teks.
Teks dalam hermeneutik adalah seluruh ungkapan tertulis. Sedangkan teks menurut para Ahli Ushul Islam adalah sesuatu yang pasti (muhkam) yang hanyamemiliki satu makna, sehingga tidak perlu ditakwilkan, sebab ia merupakan lawan mutasyabih. Teks bagi para ulama Ushul adalah sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan makna lain, dalam waktu dekat ataupun kemudian hari. Seperti angkalima yang hanya memiliki satu makna.
Hermeneutik menempatkan pembaca sebagai pengganti penulis atau penutur dan menjadikan pembaca sebagai orang yang menghasilkan teks. Pemisahan teks dari pengarang ini berimbas pada tujuan pengarang atau penulis dan pesan yang ingindisampaikannya dalam teks. Bahkan, ada kecenderungan bahwa hermeneutik berusaha membentuk modernitas positif dimana manusia alam menggantikan manusia Tuhan danmenjadikan manusia alam tersebut sebagai inti sumber pengetahuan menggantikanTuhan.
Sedangkan takwil dalam hermeneutik adalah kemampuan kita dalam memahamitujuan teks. Meskipun yang kita pahami salah. Target akhir hermeneutik adalah memahami penulis lebih baik daripada apa yang dipahami oleh penulis tentang dirinya sendiri. Teks lebih banyak berkata dari pada apa yang dikatakan penulis. Petunjuk makna memutus jiwa penulis. Petunjuk makna yang dihasilkan oleh pembaca adalah pengantar petunjuk makna yang dialami oleh penulis. Dalam hermeneutik setiap pembaca adalah sisi yang didewakan. Sedangkan penulis dianggap telah tiada. Makna dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis dianggap tidak ada.
Demikianlah hermeneutik dalam pandangan Barat, tatkalahermeneutik digunakan bagi setiap teks, agama dan manusia, muhkam dan mutasyabih,yang perlu ditakwil dan tidak ditakwil, boleh ditakwil dan tidak boleh ditakwil, makasebenarnya kita dihadapkan pada "kesia-siaan yang tidak dimengerti" yang hanyadiketahui oleh Allah.
C.HERMENEUTIKA TEKS AGAMA
Kebangkitan Eropa Modern dengan filsafat pencerahan yang dibentuk olehJerman didasarkan pada turats filsafat Yunani yang memisahkan antara nukilan agamadan wahyu Tuhan dan hukum Romania yang berdasarkan pada filsafat kemanfaatdengan kemanfaatan dunia. Hermeneutik dalam Taurat merupakan pengembangan darihermeneutika filsafat yang menganggap Tuhan telah mati, dalam teks agama,sebagaimana yang dianggap oleh hermeneutik filsafat dalam teks manusia.
Pembaca diberikan kebebasan berlebih dalam untuk menakwil. Pembaca adalah yang mengeluarkan teks agama tanpa sama sekali membedakan antara wahyu Tuhan dan teks-teks yang telah dirubah dan dikembangkan oleh manusia. Hermeneutik memperlakukan teks agama sebagai sesuatu yang nisbi, karena pembentuk hermeneutik benar-benar mengingkari sesuatu yang mutlak. Hal itu diberlakukan pada perjanjian lama ketika hermeneutik Taurat menjad isatu-satunya objek terapan yang memungkinkan bagi hermeneutik filsafat.
Ketika hermeneutik diterpakan pada teks agama, Taurat, dan diperlakukan seperti halnya teks sastra dan seni, ketika dilakukan penakwilan dengan rumus dan isyarat, ketika pembacaditempatkan pada posisi pengarang, maka agama dilepaskan dari agama aslinya danmerubah menjadi agama alam. Jika muralitasnya/tropologi (akhlakiyah) dapat terjaga hingga masa tertentu, maka ia akan terpisah dari ketuhanan berubah menjadi sesuatuyang mirip dengan karya manusia yang terputus dari kenabian, mukjizat dan wahyuserta Allah.
Seperti halnya teks-teks kaum Yahudi dan Taurat, hermeneutik dengan sepertiini juga diberlakukan pada teks-teks kaum Nasrani dan beberapa Injil bahkan, agamaKristen tidak dianggap tidak lebih dari penakwilan atas Yahudi dan Perjanjian Lama.Berbagai perbedaan antara Injil dianggap sebagai buah dari berbagai perbedaanpenakwilan antara orang-orang yang menulis Injil.  
Ada yang menakwilkan al-Masih dengan Taurat. Masing-masing julukan yang dinamakan oleh para penafsiran yangberkaitan dengan kajian al-Masih muncul dari penakwilan ulang atas bentuk-bentukyang didapatkan dari budaya Ibrani yang tertulis dan dari budaya Yunani yang mua'branah seperti malaikat, dan akal pertama. Dengan demikian, agama Kristen sejakawal merupakan penafsiran.
Seperti halnya missionaris/tabsyir (Injil berarti basyarah) sejak awal didasarkan pada dalil-dalil yang ditakwilkan dari berbagai kelompok asli. Dalam hermeneutik Barat wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan olehpembaca, dunianya dan realitasnya, bukan sesuatu yang diwahyukan oleh Allah, karenaAllah (penulis) dianggap telah mati dalam teks agama seperti halnya teks-teks lainnya
D.MODEL TA’WIL DALAM FAKULTAS KEISLAMAN
1.Ta’wil Dalam al -Qur'an
Dalam al-Qur'an, takwil berarti penafsiran dengan mendapatkan esensi, hakikat,inti dan rujukan serta berbagai hasil. Metode analisa silam membedakan antara mutlaksifat yang dan nisbi. Yang mutlak adalah dzat Tuhan sedangkan manusia beserta sifat-sifatnya digolongkan nisbi. Dalam Islam, akal manusia dapat mengetahui yang esensi, inti, hasil ilmu dan pengetahuan serta mengetahui dunia yang empiris.
 Oleh karena itu,terbuka lebar bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk menakwilkan ayat-ayat Qur'an yang mutasyabih yang berhubungan dengan tanda-tanda, pengetahuan, hukumdunia nyata dan empiris. karena sebagian ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur'an dapatdiketahui oleh mereka yang berilmu sedangkan sebagian yang lain tidak dapatdiketahui, maka muncullah perbedaan antara mufassir pada Qs. Ali Imran : 3 ; sebagian meng'atafkan kepada namun sebagian yang lain tidak menganggapnya sebagai huruf 'athaf. Contoh yang lain yang dapat kita temukan dalam al-Quran adalah semisalkonsep keadilan dalam hal mu'amalah [Q.S. Isra': 35] yang ditakwilkan dengan balasan yang paling baik.
Begitu juga dengan ayat-ayat yang lain, dalam arti kebolehan sesorang untuk menta‟wilkan dalam hal ini adalah orang-orang pilihan Tuhan dan ahli „Irfan. Semisal pena‟wilan Yusuf mengenai mimpinya atau penglihatannya mengenai Malaikat : Dan masih banyak ayat-ayat yang serupa dengan ini dalam arti ta‟wil sebagaisebuah interpretasi atau ta‟wil dalam arti penafsiran sehingga menbedakan anatarata‟wil barat dan Islam‟
2.Ta’wil Dalam hadis
Dalam konteks Sunnah Nabawiyah, ta‟wil semakna dengan tafsir. Cukup banyak hadis Nabi yang ditakwilkan
3.Ta’wil Secara Etimologitatif
Sebagai perluasan makna terminologi takwil dalam al-Qur'an dan hadis,beberapa makna takwil muncul dalam kamus. Dalam Lisan al-Arab oleh Ibn Manzur(630-711 H/ 1233-1311 M), kita temukan takwil diartikan dengan mengetahui sumberdan hasil. Kalimat yang tidak dapat dipahami secara tekstual memerlukan dalil yangdapat membuka makna tersirat di atas makna tersurat teks tersebut.
Takwil adalahmemindah makna lahiriyah teks dari makna asli kepada makna yang membutuhkan dalilyang seandainya tidak ada dalil tersebut, maka makna lahiryah teks tidak akanditinggalkan.
            4.Ta’wil Secara Terminologitatif 
Takwil secara terminologi menurut Raghib al-Ashfahani(502 H/1108 M) adalahkembali ke asal dan mengembalikan sesuatu pada tujuan akhir yang diinginkan, baikpengetahuan atau pun perbuatan.
Dan contoh Ta‟wil dalam bentuk pengetahuan adalahfirman Allah “wama ya‟lamu ta‟wilahu illallah warrasikhuna fil „ilmi”Sedangkan ta‟wil secara terminologi menurut Al-Jurjani (740-817 H/1077-1143M) menyebutkan bahwa ta‟wil adalah memalingkan lafaz dari makna zhahir kepadamakna yang muhtamal (potensi makna lain) apabila makna muhtamal ini tidakberlawanan dengan al-Qur‟an dan al-Hadits. Misalnya dalam firman Allah QS Al-An‟am ayat 95: Dari segi tafsir makna ayat ini adalah Jika Allah berkehendak, maka Ia mengeluarkan burung dari dalam telur. Sedangkan dari segi ta‟wilnya, maka maknanya: Jika Allah menghendaki, maka Ia mengeluarkan orang-orang mukmin dari orang-orangkafir atau mengeluarkan orang-orang „alim dari orang-orang bodoh.Sedangkan takwil dalam perspektif Tahawuni secara etimologi berarti kembali.Dan pandangan ahli Ushul, sebagian menyatakan sama dengan tafsir.
Sebagian lain mengatakan takwil adalah masih dalam taraf dugaan, sedangkan tafsir dalam taraf keyakinan.Para ulama yang telah membuat beberapa ensiklopedi dalam berbagaiterminologi Islam telah menetapkan bahwa takwil yang benar memiliki beberapa syarat,yakni makna yang makna teks harus masih memungkinkan bermakna lain, sesuai dengan logika pembentukan bahasa, sesuai dengan ayat-ayat muhkam dan hadis mutawatir, bahwa takwil hanyalah sebuah upaya di bawah maksud penulis,mengalihkan lafal kepada makna yang terkalahkan menggantikan makna yang unggul disyaratkan adanya dalil yang menguatkan makna terkalahkan, bahwa takwil harus terus mengikuti lingkup makna yang dikandung lafal. 
Takwil adalah mengarahkan kata kepada salah satu makna yang dimuat terkandung dalam lafal. Selain itu, mereka jugamensyaratkan keilmuan yang menyeluruh bagi mereka yang menakwilkan.
5.Dalam Penafsiran Qur'an
Takwil tidak diterapkan pada ayat muhkam, baik Qur'an dan sunnah. Sedangkanayat dan hadis yang masih mutasyabih masih terdapat perbedaan, yang dikembalikankepada dasar-dasar yang pasti.Para mufassir telah memaparkan penakwilan mereka. Mereka hampir sepakatakan kebolehan takwil bagi mereka yang mengetahui teks ternukil dan teks ternalar. Dan bahwa sebagian ayat-ayat mutasyabih hanya dapat diketahui maksudnya olehAllah. pengetahuan orang-orang yang berilmu hanyalah dinisbatkan pada maksud tersebut.
Sebagian ayat-ayat mutasyabih yang berhubungan dengan alam, ayat-ayatkauniyah, pensyarai'atan dan hukum syari'at dapat diketahui oleh orang-orang yangberilmu melalui kata-kata yang diberikan Allah dalam ayat-ayat mutasyabih danberbagai petunjuk yang terdapat dalam ayat muhkamat.
Yang dimaksud mutasyabih di sini adalah hal-hal yang diinginkan yangdiisyaratkan Allah mencakup masalah-masalah akhirat dan lafal-lafal makna lahirnyaberbeda dengan makna yang dimaksud. Keberadaan mutasyabih pada masalah akhiratdalam al-Qur'an tidak dapat dipungkiri, karena di antara rukun agama dan tujuan wahyuadalah mengkhabarkan keberadaan akhirat. Penakwilan yang banyak dilakukanmencakup lafal-lafal yang makna lahirnya berbeda dengan yang dimaksudkan.Yang dimaksud orang yang berilmu di sini adalah orang-orang yang mengetahuisampai ke akar permasalahan dan dapat menempatkan penakwilan dengan baik.
E.ATURAN ISLAM MENGENAI FILOSOFI  TA’WIL
Imam Ghazali(450-505 H/1058-1111 M) adalah orang pertama yang membuataturan pasti dan terperinci bagi takwil dalam Islam. Ia mengungkapkan posisi mayoritasfilosof dan teolog Islam terhadap takwil, tanpa mengecualikan antara golongan batiniahataupun zahiriyah. 
Berikut pemaparan al-Gazali:1.Tidak ada tokoh Islam yang tidak memerlukan takwil, hingga mereka yang tidakmenekuni analisa secara rasional, seperti Ahmad bin Hambal yang telah menakwilkan tiga Hadits saja.. 2.Tidaklah mudah membedakan sesuatu yang dapat ditakwilkan dan yang tidakdapat ditakwilkan, bahkan hanya dapat dilakukan oleh orang yang mahir,cemerlang dalam ilmu bahasa, mengetahui dasar-dasar bahasa, tradisi orangArab dalam penggunaan bahasa serta metode dalam membuat perumpaan. 3.Beberapa kelompok Islam telah sepakat bahwa penakwilan hanya diperbolehkanketika memiliki dalil akan kemustahilan menggunakan makna lahir. Makna lahiriyah pertama adalah makna asli. 4.Mereka sepakat bahwa jika dalil tersebut telah pasti, maka diberikan keringanandiberikan untuk penakwilan, meskipun menggunakan makna jauh. Jika belum pasti maka tidak diberikan keringanan kecuali hanya pada penakwilan maknadekat yang memudahkan pemahaman.5.mereka sepakat bahwa tingkatan yang diterima hanya lima, yaitu wujud dzati,hissi, khayali, aqliy, syibhi, yang menjadi tingkatan dalam penakwilan.6.Para penakwil dikelompokkan menjadi dua tingkat. Tingkatan awam dantingkatan analisis.7.Mereka yang menakwilkan tanpa dalil dalam masing-masing tingkatan belumtentu dianggap kufur. Tergantung apakah penakwilannya berkaitan denganpermasalahan akidah atau tidak. Dan akan dianggap kafir ketika berkaitandengan masalah akidah.8.Sebuah makna yang bertentangan terkadang bertentangan dengan maknamutawatir dan dianggap sebagai makna yang ditakwilkan, akan tetapidisebutkan sebagai sebuah penakwilan yang tidak memiliki dasar bahasa, makadianggap kufur dan orang yang melakukannya berdosa, meskipun ia menyangkabahwa makna itu adalah makna yang ditakwilkan.9.Jika seseorang mengingkari makna yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad,maka tidaklah dianggap kafir. Jika ditetapkan berdasarkan berdasarkan ijma',maka dipertimbangkan terelbih dahulu.
Sedangkan Ibn Rusyd menekankan bahwa takwil diperbolehkan dalam sebagian teks-teks syara'. Bagi Ibn Rusyd, yang dimaksud takwil yang dilakukan berdasarkanketentuan takwil Arab adalah menggabungkan antara makna yang ternalar dan maknaternukil, bukan menempatkan makna ternalar menggantikan makna ternukil.
Pendapat Ibn Rusyd tentang takwil secara ringkas adalah sebagai berikut:1.Takwil diperbolehkan 2.Hanya pada makna yang memiliki dalil kemustahilan penggunaan makna lahir.3.Sesuai dengan persyaratan majaz, yang mengeluarkan petunjuk makna kata-kata dari hakikat menjadi majaz.4.Tidak ada kesepakatan ijma' yang diyakini bahwa yang dimaksudkan adalahmakna lahiriyah.5.adanya dukungan petunjuk makna lahiriyah dari beberapa teks yangmenguatkan penakwilan. 6.Bertujuan menggabungkan antara yang ternalar dan ternukil, bukanmembenturkan keduanya, melampaui salah satu ataupun menafikannya. 7.Takwil berlaku hanya untuk kalangan khusus yang berilmu. Tidakdiperbolehkan bagi kalangan umum. Tidak boleh dituliskan dalam buku-bukuumum, kecuali jika penakwilannya telah benar-benar valid memenuhi syara-syarat dan ketentuan takwil.8.Tentang alam gaib, mukjizat, dasar-dasar syari'ah, dan segala yang tidakmampu diketahui hanya dengan akal manusia untuk dapat mengetahuiessensinya. Ibn Rusyd mengharuskan mengambil makna lahiriyah, tidakditakwilkan.9.Berita tentang yang gaib dan dasar-dasar syari'ah serta mukjizat tidak bolehditakwilkan, meskipun oleh para filosof. Para ulama setelah mereka ketika menggunakan takwil ketakwaannya menjadi berkurang, banyak bertentangan, semakin terpisah-pisah.

1.Ta’wil bagi para sufi 
Tujuan penakwilan baik dalam sufi dalam segala keadaan, tingkatan, pembacaandan penakwilan adalah sampai pada tingkatan tertinggi pemahaman atas tujuan penulis,tidak dengan terang-terangan mengakui matinya penulis.Dalam pemikiran Islam dan sejarah peradaban umat Islam, tasawuf syar'imemiliki perbedaan yang mendasar secara batin. Penakwilan dan pembacaan teksagama termasuk salah satu bidang yang dapat digunakan mengetahui inti perbedaanantara tasawuf dan penyimpangan aliran batiniyah.  
Pembacaan kaum sufi terhadap teks-teka agama memang berbeda denganpembacaan para filosof dan mufasir Qur'an. Namun, meskipun demikian merekatidaklah berlebihan dalam seperti yang dilakukan oleh aliran batiniyah. Kaum sufiberusaha membaca membaca teks untuk sampai pada penulis dan maksud tulisannya.Sedangkan takwil bagi aliran mengesampingkan apapun maksud penulis, seperti yangdilakukan hermeneutik terhadap pengarang bagi teks buatan manusia dan terhadapTuhan bagi Tuarat dan Injil.Pembacaan kaum sufi terhadap teks agama berusaha mennggapai esensi dasarteks dan menggapai dunia teks tersebut tanpa mengorbankan ketentuan bahasa ataupunkeimanan.
Dalam pembacaan sufi terdapat tiga maqom, yaitu: mukmin yang telahma'rifah (yang telah bertemu Allah melalui kalamullah dan mengetahui maknakhitabnya), muqarrabin umum (yang menyaksikan dengan hati mereka seakan-akan Allah berdialog dengan kelembutannya), dan ashabul yamin (yang melihat diri merekatelah bermunajat kepada Tuhan). Seluruh maqom ini dalam setiap pembacaan merekaselalu mencari penulis, berusaha sampai pada sumber dan mencari esensi maksud.Penakwilan hanya diberlakukan pada bagi kaum khawash, atau khawashhulkhawash, dan Allahlah yang menunjukkan mereka. Takwil dalam sufi adalahpembacaan hati yang menerima limpahan dan ilham Tuhan. Sedangkan akal hanyalahsekedar saksi. Akan tetapi, tujuan takwil tidak lain hanyalah mencapai sang penulis dan mencari esensi maksud ungkapannya.
2. Penakwilan Aliran Batiniyah

Penakwilan aliran batiniyah sama seperti penakwilan hermeneutik terhadap teksagama dalam Turats barat. Yakni bahwa penakwilan diberlakukan secara umum padasetiap teks tanpa membedakan antara yang muhkam dan yang mutasyabih, tidakmenganggap peran bahasa. Seperti aliran Isma'iliyah yang penakwilannya hampirmerusak Islam. Bagi mereka yang batin menghapus yang lahir, hingga merekamenempatkan syari'at batin pada syari'ah dzahir.

F.Penyimpangan (Bid’ah) Hermeneutik dalam Studi Islam Modern
                Kita tahu dari berbagai media bagaimana hermeneutik Barat yang sekuler tumbuhsubur sejak masa pencerahan Eropa (renaisans) abad ke-18 M-bagaimana hermeneutikitu berusaha untuk memanusiakan agama, menggantikan manusia menempati posisiTuhan, dan menggantikan pembaca menempati posisi wahyu seakan-akan manusialahyang menciptakan wahyu (teks agama) tersebut. Sebagaimana hermeneutik berupayakeras mengucilkan nilai spiritual, akhlak serta hukum-hukum agama dari sumbernya (Tuhan) bahkan sampai batas wacana kemungkaran: “Sungguh Allah telah mati” sehingga dengan demikian hermeneutik telah memposisikan agama buatan manusiamenempati agama yang diturunkan Tuhan sehingga menjadikan manusia tanpa nilai-nilai ketuhanan dan bukanlah manusia yang memiliki nilai-nilai ketuhahan yang Allah hembuskan dari ruh-Nya.
Ta‟wil hermeneutik sekuler (hermeneutik Barat) ini telah menyusupkan kerancuan ke dalam ta‟wil gnostik -mistik (ta‟wil Islamiy) pada teks-teks agama sertamenyamaratakan semua teks sehingga tidak ada bedanya antara teks mutawatir denganghairu mutawatir, teks muhkam dengan teks mutasyabih atau antara teks wahyu denganteks non wahyu. Ta‟wil hermeneutik sekuler ini cenderung bergerak menuju kebalikan dari ta‟wil Islamiy yang berorientasi batiniah.
Maka ta‟wil batin mengklaim bahwa ia menggiring teks dari jasadnya ke ruhnya sementara hermeneutik positivistik- sekulermenggiring teks dari ruh ke jasadnya atau dengan istilah ekstrim menggiring agama darinilai-nilai ketuhanan menuju nilai-nilai kealaman, dari dunia metafisika ke dunia fisika,dari wahyu menuju akal (rasio) dan eksperimen panca indera (sense).Setelah hermeneutik memanusiakan Tuhan, memanusiakan nubuwwah dan mengingkari adanya tanzil dan i‟jaz al-Qur‟an dan wahyu serta mengingkari keabadianmakna-makna al-Qur‟an sertamemanusiakan alam ghaib.
 Hermeneutik modern ini jugacenderung mendewakan akal (rasio) dan indera (sense) terhadap wahyu dan alam ghaibserta menyerukan: sesungguhnya rasio itu tidak membutuhkan bantuan, akal (rasio) itumengetahui kebaikan dan keburukan dan akal itu mampu untuk mengetahui sifat-sifatbaik dan buruk terhadap sesuatu sebagaimana halnya indera (sense), pengamatan(observasi) dan eksperimen mampu untuk mengetahui baik dan buruk

G.Waba’du
Hermeneutik Modern yang berusaha diterapkan dalam Islam, Allah, wahyu,alam gaib, dan kenabian merupakan penakwilan yang buruk dan berlebihan, dimanapembaca didewakan dan Tuhan dimatikan tanpa pandang bulu, baik pada hermeneutik Barat ataupun pada Islam, yang kemudian menyebabkan kehancuran Nasrani Barat dankehampaan agama di Eropa, ketika tidak mampu menjawab pertanyaan manusia yangseharusnya dijawab oleh agama.
Bahkan, hermeneutik modern menyatakan bahwa ateisadalah dasar wahyu dan penyimpangan adalah makna asli keimanan. Ini merupakanupaya sia-sia yang tidak perlu dikomentari.Demikianlah beberapa alur pemikiran dan madzhab filsafat dalam peradabankita yang menolak penakwilan sia-sia ini yang diperkenalkan oleh hermeneutik Baratyang sangat merusak teks, khususnya teks-teks agama.
BAB III
KOMENTAR
Sebagai contoh relevansinya Hermenutika dalam konteks penafsiran adalah,saya akan memaparkan sedikit titik relevantsi hermenutika Pasca Strukturalisme yangdikembangkan Saussure. Dengan memperbandingkannya dengan metodologi Ilsammainstream.Secara umum, metode penelitian tafsir yang selama ini dikenal terdapat empatklasifikasi, yaitu (1) tafsir tahlily „analitis‟, (2) tafsir ijmaly „global‟, (3) tafs muqaran„perbandingan‟, dan(4) tafsir maudhu‟i „tematik‟ (Al-
‟Aridl 1994:4).
Keempat konsep ini mudah disebutkan, tetapi tidak begitu mudah menuntun orang ke pemahaman seluk-beluk metode untuk diturunkan ke teknik yang dimaksud, karena keempat konseptersebut masih memerlukan teknik yang bersifat operasional. Maka ancangan, metode,dan teknik yang dipakai oleh kalangan linguistik struktural terutama yang dipeloporioleh de Saussure dan dikembangkan oleh Bloomfield, dan lain-lain dapat dijadikansebagai alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat Alqur‟an.
Teknik yang dimaksud adalah(1) teknik substitusi (ganti), (2) teknik ekspansi (perluas), (3) teknik intrupsi (sisip), (4)teknik delisi (lesap), dan (5) teknik permutasi.
Bila ditelaah, para mufassir yang telah menghasilkan beberapa kitab tafsir yang cukup populer di kalangan kita, seperti kitab tafsir al-Kasysyaf oleh al-Zamakhsyari,kitab tafsir Jalalain oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, kitab tafsir al-Baidhowi, dan lain-lain telah meggunakan ancangan linguistik struktural. Sebuah karya yang lebih dahulu dari pada munculnya konsep linguistik struktural tersebut perlumenjadi perhatian untuk dikaji lebih mendalam agar tidak terjadi stagnasi metodologisterutama dalam membedah struktur kalimat pada setiap ayat.
Dua contoh penafsiran di atas membuktikan bahwa para penafsir Alqur‟an telah menggunakan analisis ilmiah terhadap satuan lingual kebahasaan dengan ancangananalisis linguistik struktural dalam membedah makna yang terkandung di dalam Alqur‟an.
 Pada dasarnya Hermeneutika merupakan sebuah metode kritik eksploratif untukmenginterpretasikan realitas teks-teks Kitab Suci baik secara implisit maupun eksplisitdi mana Kitab Suci dipandang mempunyai kedudukan sebagai ultimate truth (kebenaranyang Agung) namun dalam realitas hermeneutika merupakan suatu teori filsafat tentang interpretasi makna dikenal sebagai salah satu model spesifik analisa yakni sebagai pendekatan filosofis terhadap pemahaman manusia.
Fokus analisa hermeneutika adalahpersoalan makna teks atau yang dianalogikan sebagai teks. Bahasa menjadi acuan wayof being bagi manusia dalam menggali kebenaran. Keterbatasan manusia dalammengungkapkan bahasa Kitab Suci sering suatu pemahaman menjadi invaliditas dansemi validitas tetapi setiap interpreter mengakui klaim kevaliditasnya.
Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika. Artinya, sebagaisebuah perangkat metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagianintegral perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an.
Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan mempertimbangkankonteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensialmakna teks, mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakankumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari istilah-istilahmetodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an.
Penggunaan hermeneutika dalam Al-Qur‟an memberikan orientasi ekspansif pemahaman Al-Qur‟an dari having religious ke being religious dan being human.Konsep having religious lebih menitik-beratkan pada formalisme agama, sedangkanbeing religious dan being human lebih menitikberatkan pada substansi dan nilai agama.Kemudian dilakukan suatu transformative value melalui critical thinking yang bersandarpada landasan atau perspektif kemaslahatan kontemporer.
Kecenderungan Al-Qur‟an dipahami selama ini lebih dominan sebagai kajian hukum Islam (fiqh) denganpendekatan teoritis dan normatif dapat disebut melihat hukum dalam konteks law inbooks, yaitu suatu pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena normatif dalamrangka pencarian atau penemuan asas dan doktrin hokum, sementara kecenderunganterapan yang bersifat sosiologis dapat dipahami sebagai model pemahaman yangmelihat hukum dalam kerangka law in action, yaitu suatu pemahaman yang melihathukum sebagai fenomena sosial. Perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadidalam dunia Islam yang berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalumelibatkan proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi besar) padawilayah alam pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan.
Sedangkan littletradition (tradisi kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori konsep, ide, keyakinan dan gagasan tersebut dalam wilayah kehidupan konkrit padabudaya dan tatanan sejarah tertentu. Perubahan (change) akan terjadi ketika tradisi baruyang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang besar dibandingkan dengantradisi keilmuan yang telah ada dan mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datangmempunyai kekuatan dan daya dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisikeilmuan yang lama, maka yang terjadi adalah tidak adanya perubahan.
Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam Dunia Islam yaitu pengalihan pemahaman Al-Qur‟an dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dannormatif berkisar pada formalisme agama Islam menjadi hukum Islam yang kontekstualsesuai dengan sosiologis legal formal sekarang ini. Kontribusi teori double movementFazlur Rahman mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi pemahamanterhadap Al-Qur‟an yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran hermeneutika
































.











































ReadmoreHermeneutika 'Imarah