A.
Pendahuluan
Dalam
dunia Islam eksistensi teks al-Qur’an merupakan representasi dari otoritas
Allah Swt. untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sementara Nabi
muhammad Saw. pada zamannya dipandang sebagai orang yang paling otoritatif
untuk menafsirkan semua kehendak Allah Swt. Namun, pada generasi berikutnya
muncul berbagai problem dalam menafsirkan teks. Dengan mengatasnamakan
teks-teks suci dan melegitimasi pemikirannya tanpa memperhatikan aspek moral
dalam hukum, banyak orang temasuk organisasi pemberi fatwa terjebak pada
tindakan “otoritarianisme interpretasi”. Kecenderungan ini berdampak pula
terhadap pemikiran dari generasi berikutnya dan melahirkan sikap otoriter
seakan-akan dialah yang paling tahu akan makna dibalik teks seperti benar-benar
dikehendaki Allah Swt.
Abou
El-Fadl mengkritik lembaga fatwa seperti CRLO (Council for Scientific
Research and Legal Opinion atau al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhus al-‘Imiyyah wa
al-Ifta’) yang merupakan sebuah lembaga resmi di Saudi Arabi yang mempunyai
otoritas untuk mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan yang oleh Abou El-Fadl
dianggap terjebak pada sikap otoritarianisme, seperti fatwa pelarangan wanita
mengunjungi makam suami, wanita mengeraskan suara dalam berdo’a, wanita
menegendarai dan mengemudikan mobil sendiri, dan wanita harus didampingi pria
mahramnya. Fatwa-fatwa tersebut dianggap sebagi tindakan merendahkan untuk tidak
menyebutkan menindas martabat wanita yang tidak dapat ditoleransi pada zaman
sekarang. Fatwa-fatwa tersebut menurut Abou El-Fadl dikatakan berlindung
dibawah teks (nash) yang mengklaim bahwa itu yang sebenarnya
“dikehendaki oleh Tuhan”. Menurutnya, reinterpretasi tafsir-tafsir hukum Islam
penting untuk dilakukan agar umat Islam terhindar dari keotoriteran penafsir di
dalam menafsirkan teks.[1]
Dilihat
dari isi penafsiran dan pemahaman, disiplin ilmu yang pertama dan yang banyak
menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Semua kitab suci yang
mendapatkan inspirasi ilahi, seperti al-Qur’an, Injil, Perjanjian Lama,
Perjanjian Baru, Taurat, Injil, Talmud, Veda, dan Upanishad, supaya dapat
dipahami, maka diperlukan interpretasi. Interpretasi yang dilakukan sangat
tergantung pada bagaimana hermeneutika dioperasionalisasikan.
Oleh
karena itu, hermeneutika selalu berkaitan dengan proses pemahaman, penafsiran,
dan penterjemahan atas sebuah pesan (tulisan atau lisan) untuk selanjutnya
disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda dan sangat
kompleks. Hermeneutika mempunyai tiga proses interpretasi, sebagaimana yang
dilakukan Hermes dan Mitologi Yunani yang disebut “struktur triadic” yaitu: pertama,
tanda, pesan, atau teks, kedua, seorang mediator yang berfungsi
menterjemahkan, menafsirkan dan menyingkap makna dari teks, dan ketiga, audien
atau disebut dengan reader. Menurut Ilham B. Saenong, ketiga unsur
struktur triadik hermeneutika tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:[2]
Teks
Makna
Penafsir
Pembaca
Terkait
dengan struktur triadik diatas, E. Sunaryo juga mengungkapkan bahwa kegiatan
interpretatif merupakan proses yang bersifat “triadik” pula. Artinya, kegiatan
interpretasi mempunyai tiga segi yang saling berhubungan antara teks (text),
penafsir (reader), dan juga pengarang (author). Aktivitas ini
sama halnya dengan apa yang ada dalam lingkaran hermeneutika (circle of
hermeneutics). Menurut E. Sunaryo, orang yang melakukan interpretasi harus
mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks tersebut,
sehingga pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu sendiri.
Bertolak dari asumsi di atas, dapat dikatakan bahwa hermeneutika merupakan system
of rules of interpretation.[3]
Hermeneutika pada prinsipnya merupakan
suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan
teks mulai dari ciri-cirinya, baik secara obyektif (arti gramatikal kata-kata
dan bermacam variasi historisnya) maupun subyektif (maksud pengarang).
Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative
writings), yakni teks-teks suci (sacred scripture).
B.
Problem
(Kegelisahan Akademik)
Persoalan
penafsiran nash-nash keagamaan Islam yang bias gender ini dijadikan
sebagai dasar pijakan umtuk menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana
sesungguhnya mekanisme penafsiran, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan
kesimpulan, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga,
kelompok, organisasi, dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum
Islam. Dari sini persoalan pelik muncul. Pertanyaan mendesak seperti diungkap
di depan yang dikemukakan oleh pendekatan hermeneutika adalah mengapa dalam
dunia modern sekarang ini terdapat gejala umum yang mudah sekali ditangkap di
berbagai tempat kecenderungan yang kuat oleh umat beragama, khususnya Islam,
untuk mengambil alih begitu saja kekuasaan otoritas ketuhanan, untuk
membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut (despotism) yang
dilakukan oleh pembaca (reader) teks-teks atau nash-nash
keagamaan?. Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling
benar hanyalah “keinginan pengarang” (the will author), maka dengan
mudah para pembaca (reader) menggantikan posisi pengarang (author)
dan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai salah satu-satunya pemilik
absolut sumber otoritas kebenaran. Disini lalu terjadi perubahan secara instan
yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau penyatuan “pembaca” (the
reader) dan “pengarang” (the author), dalam arti bahwa pembaca tanpa
peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan
institusinya menjadi Tuhan (author) yang tidak terbatas.
C. Pentingnya Topik Penelitian
Khaled
Abou El-Fadl, menjelaskan bahwa penggantian secara halus, dan lebih-lebih jika
dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (author) oleh
pembaca (reader) adalah tindakan despotisme dan sekaligus bentuk
penyelewengan (corruption) yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak
bisa dibenarkan begitu saja, tanpa kritik yang tajam dari community of
interpreters (komunitas penafsir) yang ada disekitarnya. Khaled ingin
mengubah metodologi kajian Islam (epistemologi) yang merupakan jalan pintu
masuk awal terhadap dunia penafsiran baru. Karena dalam tafsir itu sendiri
terdapat tiga lingkaran hermeneutis yang saling berkaitan, yaitu: agen Tuhan,
agen pembaca (subyektifitas), dan agen pendengar (moralitas).
D.
Hasil
Penelitian Terdahulu
R.B. Friedman dalam “On the Concept of Authority in
Political Philosophy”, membedakan antara “memangku otoritas” (being in
authority) dan “memegang otoritas” (being an authority). Menurutnya
“memangku otoritas” artinya menduduki jabatan resmi atau struktural yang
memberinya kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan. Sedangkan
“pemegang otoritas” merupakan seseorang yang dipandang memiliki pengetahuan,
kebijaksanaan atau pemahaman lebih baik. Friedman menyebutkan bahwa ketundukan
pada otoritas berarti penyerahan atau pengalihan keputusan dan penalaran
individu. Orang yang menyerahkan keputusannya kepada orang lain berarti telah
melepaskan kesempatannya untuk menguji dan mengkaji nilai sesuatu yang harus ia
yakini atau jalankan.[4]
Hans-Georg
Gadamer dalam “Truth and Method”, pada dasarnya, pemahaman tentang
realitas sejarah yang membentuk tradisi sering kali hanya didasarkan pada
semacam praduga yang sudah berakar kuat. Secara khusus, Gadamer menyatakan
bahwa komunitas interpretasi ini secara historis tidak mandiri, bersandar pada
prasangka historis, dan selalu berubah dan berkembang. Oleh karena itu,
komunitas interpretasi telah terbentuk di sekeliling teks dan bahwa komunitas
interpretasi membentuk metode diskursus yang seragam dalam proses pembentukan
makna.[5]
Hannah
Arendt dalam “what is authority”, otoritas tidak bisa disamakan dengan
persuasi. “Ketika argumen dilibatkan, otoritas hanya tinggal istilah”. otoritas
adalah sebuah kekuatan yang membuat orang tunduk tanpa harus dibujuk. Dengan
sifat dasar otoritas, tidak mengejutkan bahwa pada masa modern ini otoritas
telah punah seiring dengan melemahnya keyakinan pada agama dan tradisi.[6]
E.D.
Hirsch, “Validity in Interpretation” menyatakan bahwa makna verbal
adalah sesuatu yang hendak disampaikan oleh seseorang dengan rangkaian
simbol-simbol bahasa tertentu dan kehendak itu dapat ditampung oleh
simbol-simbol bahasa tertentu. Pengarang sebuah teks telah memformulasikan
maksudnya berusaha memahami maksud pengarang atau harus berusaha memahaminya.[7]
Uberto
Eco dalam “Interpretation and Overinterpretation”, bahwa teks memiliki
integritas mendasar yang harus dihormati dan bahwa pembaca tidak boleh
menggunakan teks secara bebas tanpa batas. Maka pembacaan yang cermat dan ketat
terhadap teks dapat menjadi basis kesamaan tujuan dan kepastian. Hal ini
membuat sejumlah kalangan menyatakan bahwa teks memang memiliki realitas serta
integritasnya tersendiri, dan realitas serta integritas teks itu berhak untuk
dipatuhi.[8]
Heidegger
dengan “peristiwa ontologis” antara teks dan penafsirnya, dan bagaimana peristiwa
ontologis ini membentuk sejarah pemahaman. Hermeneutika sebagai sebuah disiplin
kajian, cenderung berfokus pada pemahaman atas subyektivitas pengalaman makna
dan proses yang mengubahnya sebagai hasil dari upaya memahami makna.
Hermeneutika kemudian terlibat dalam kajian tentang syarat-syarat bagi
dimungkinkannya suatu pengetahuan dan syarat-syarat bagi terciptanya perubahan
dalam pengetahuan tersebut.[9]
James
Boyd White dalam “heracles’ Bow”, teks menciptakan dan membentuk
komunitasnya sendiri, bahwa komunitas interpretasi tidak hanya sekadar
menciptakan makna teks, tetapi komunitas interpretasi dan teks saling melakukan
negosiasi.[10]
Alasdair
Maclntyre, “Whose Justice?”, tidak ada landasan berpijak, tempat
penelitian, cara untuk mengemukakan, menilai, mengakui, dan menolak argumentasi
masuk akal selain dari yang disediakan oleh sebuah tradisi tertentu. Hal ini
menegaskan bahwa komunitas interpretasi pasti akan membentuk tradisi-tradisi
interpretasi, dan tradisi interpretasi semacam itu akan menghasilkan tekanan
tertentu terhadap penetapan makna.[11]
E.
Kerangka
Teori dan Pendekatan
Untuk
membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian, Abou El-Fadl menyajikan
sebuah kerangka konseptual dalam kajian hukum Islam. Pembahasan otoritas dalam
hukum Islam sangat penting karena tanpa otoritas akan tampak subyektif, relatif
dan bahkan individual. Pembahasan otoritas bertujuan mencari hal-hal yang baku
(ats-tsawabit).
Menurut
Abou El-Fadl, pendekatan hermenutika dalam menganalisis dan mengkaji teks-teks
sangat penting dilakukan. Dalam pendekatan hermeneutika, sedikitnya melibatkan
tiga variabel, yaitu 1) author (pengarang), 2) text (teks), dan
3) reader (pembaca). Bagi umat Islam, variabel teks berarti nash
syari’, variabel author berarti Allah (syÉri’),
dan variabel reader atau otoritas penafsir yakni umat Islam itu sendiri
(mufassir atau fuqaha’). Masing-masing unsur dalam proses
pemahaman memiliki peran dan fungsinya sendiri. Mengumpulkan peran salah satu
unsur atau mengabaikan pesan salah satu unsur lainnya hanya akan membawa kepada
kesewenang-wenangan dalam memahami dan mengkaji teks.
Dalam
pandangan Abou El-Fadl, otoritas terbuka untuk wacana, debat, ketidaksetujuan.
Otoritas penafsir teks-teks keagamaan (reader), menurut Abou El-Fadl,
setidaknya mempunyai otoritas persuasif, yaitu otoritas “wakil khusus” (ahli
huukm Islam atau fuqaha’), dan bukan otoritas koersif (paksaan) atau
otoriter.[12]
Oleh karena itu, menurut Abou El-Fadl ada tiga
syarat yang penting untuk diterapkan demi menjaga dan membatasi sikap otoriter
dan otoritarian dalam hukum Islam, yaitu: 1. Kompetensi, 2. Penetapan
makna dan 3. Perwakilan.[13]
Kompetensi
berfungsi untuk mencari (autentisitas-orisinalitas teks) dengan melihat aspek
historisitasnya dalam teks. Kompetensi (autentisitas) paling utama adalah
bagaimana mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan dan
Nabi-Nya. Apakah dengan melalui sumber-sumber atau asbab an-nuzul-Nya,
atau kalau dalam hadits mengetahui “sahih” atau tidaknya suatu teks hadits.
Kedua, sumber terbesar dalam warisan Islam terbesar tersebut merupakan
teks-teks otoritatif yang dianggap memiliki kompetensi (autentisitas), namun
tergantung sejauh mana kejujuran seorang (reader) untuk menafsirkan
teks-teks ini sesuai dengan apa yang ditawarkan Abou El-Fadl dalam kelima
syarat otoritatif, yaitu: (1). Kejujuran (honesty), (2). Kesungguhan (delligency),
(3). Kemenyuluruhan (comprehensiveness), (4). Rasionalitas (reasonableness)
dan (5). Pengendalian diri (self-restraint).[14]
Teks-teks
yang tidak memiliki kompetensi (autentisitas atau kesahihan hadis),
dinilai tidak memiliki suara Tuhan dan Nabi, karena penggunaan teks-teks
yang tidak otoritatif dan tidak mempunyai kompetensi (autentisitas) akan
menjerumuskan (reader/penafsir, fuqaha’/ulama’) pada sikap
otoritarianisme interpretasi dan cenderung despotik dan otoriter.[15]
Pemasalahannya,
siapakah yang memiliki otoritas dalam penetapan (penentuan) makna suatu teks,
dan apa arti sebuah teks, apa yang dimaksudkan Tuhan dengan suatu teks
tersebut, bagaimana menetapkan makna dari kehendak Tuhan yang tertuang dalam
teks?
Untuk
menjawab persoalan-persoalan di atas, menurut Abou El-Fadl, membutuhkan
keseimbangan kekuatan yang harus ada di antara maksud teks (text),
pengarang (author), dan pembaca (reader). Penetapan makna ini
berasal dari proses pemaknaan yang kompleks terhadap suatu teks. Maka
interaktif, dinamis, dan dialektis antara teks, pengarang, dan pembaca sangat
dibutuhkan.
Menurut
Abou El-Fadl, negosiasi pembaca dengan teks itu sangat penting, karena dalam
pembentukan makna ia terlebih dahulu mengetahui karakter dan otentisitas teks.
Di satu sisi, pembaca harus menjaga jarak dengan sebuah teks, dengan mengatakan
bahwa makna teks sudah pasti dan tidak bisa di otak-atik lagi, padahal teks
selalu berkembang untuk ditafsirkan sesuai dengan konteks perkembangan
zamannya.[16]
Di sinilah yang dimaksud kontekstualisasi dan aktualisasi.
Menurut
istilah M. Amin Abdullah, adanya negosiasi antara teks, pengarang, dan pembaca
sangat penting untuk menciptakan penafsiran yang tepat, otonom, dan integritas
teks.[17] Pada kenyataanya
peradaban Islam adalah peradaban teks, namun ketika teks menjadi sesuatu yang
sentral, maka teks secara otomatis akan menjadi rujukan utama umat Islam yang
oleh Abou El-Fadl disebut dengan agen-agen manusia. Tetapi agen-agen tersebut
tidak boleh bertindak ultra vires atau melakukan di luar misi yang
mereka emban. Artinya apa yang disampaikan benar-benar suara Tuhan dan Nabi
yang memiliki kompetensi (autentisitas), sedangkan yang terkait dengan
(interpretasi) ini adalah persoalan makna yang harus dipertanggungjawabkan oleh
agen-agen tersebut.
Akan
tetapi, menurut Abou El-Fadl, pembacaan terhadap teks sangat kompleks dan
beragam dalam menentukan suatu makna teks, sehingga secara otomatis akan
menghasilkan pluralitas pemaknaan yang berbeda pula. Setiap pembaca (reader)
berhak menafsirkan makna apapun sesuai apa yang dikehendaki pembaca. Akan tetapi
legitimasi atas penetapan makna dari seseorang tergantung pada sejauh mana
pembaca menghargai integritas maksud pengarang (author) dan teks itu
sendiri.
Maka
dari itu, Tuhan telah menggunakan dua sarana: teks dan manusia, teks diharapkan
dapat membentuk sikap dan perilaku pribadi manusia, sedangkan manusia berperan
penting untuk menyingkap sekaligus membentuk makna sebuah teks. Peranan manusia
dalam membentuk makna teks akan melahirkan persoalan baru, yaitu tentang
kemampuan manusia dalam proses penetapan makna, apakah sesuai dengan apa yang
dikehendaki Tuhan dan Nabi? Oleh karena itu, dalam hadits Nabi “semua mujtahid
itu benar”. Bertolak dari hadits tersebut, Abou El-Fadl menekankan peran aktif
pengarang, teks dan pembaca. Akan tetapi penetapan makna dalam peran ini
melibatkan proses yang kompleks, interaktif, dinamis, dan dialektis antara
ketiga unsur tersebut.[18]
Langkah-langkah
hermeneutik Abou El-Fadl dalam kerangka ini, bertujuan untuk menghormati
otonomi teks dengan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap
teks sehingga teks dapat ditafsirkan secara terbuka. Karena al-Qur’an dan
sunnah selalu berubah, bahwa keduanya merupakan karya yang membiarkan
eksistensinya untuk selalu terbuka (the open text) terhadap berbagai
strategi interpretasi.
Persoalan
ketiga dalam mengkaji konstruk otoritas dalam diskursus hukum Islam adalah
terkait dengan perwakilan. Namun persoalan yang muncul kemudian siapakah yang
berhak untuk memastikan dan menyelesaikan persoalan kompetensi dan penetapan
makna, sekaligus bagaimana format kelembagaan untuk menentukan otentisitas,
makna, dan pelaksanaannya, apakah persoalan tersebut diserahkan kepada
kreativitas individu para pengikut agama, atau haruskah dibentuk sebuah
institusi khusus? Abou El-Fadl menyebut persoalan ini sebagai persoalan
perwakilan.[19]
Abou El-Fadl menyatakan:
....akan tetapi, saat ini penting dicatat
bahwa ketiga persoalan itu (kompetensi, penetapan, dan perwakilan) memainkan
peranan penting dalam membentuk pemegang otoritas dalam diskursus keislaman.
Meskipun kita berasumsi bahwa apapun yang berasal dari Tuhan dan Nabi-Nya
itu bersifat otoritatif, masih tersisa sejumlah ketidakjelasan yang harus
dibicarakan lebih dahulu sebelum kita memastikan bahwa gagasan tentang
keberwenangan Tuhan telah dipahami dengan jelas. Gagasan keberwenangan Tuhan
itu terkandung dalam pengertian Islam itu sendiri, yang bermakna ketundukan mutlak
kepada Tuhan menerima Tuhan sebagai satu-satunya penguasa tanpa sekutu.[20]
Terlepas
dari asumsi bahwa Tuhan mempunyai otoritas dalam menentukan hukum, manusia juga
diberi mandat (peran) sebagai penentu hukum untuk mewakili suara Tuhan dan Nabi
(khalifah fil ard). Namun pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia
membuka ruang otoritarianisme, jika manusia menyalahgunakan otoritas atau
mandat Tuhan, melakukan tindakan di luar batas kesewenangan hukum yang
dimilikinya atas ultra vires, bahkan menuhankan dirinya. Dengan menutup
teks rapat-rapat (pintu ijtihad ditutup), maka teks akan dipandang tidak lagi
relevan. Penetapan makna terakhir yang dilekatkan pada teks akan menyegel makna
teks untuk selamanya.[21] Inilah yang kemudian akan
terjebak pada tindakan otoriter bahwa teks seperti inilah yang paling benar,
tanpa melihat konteks dibalik teks itu.
Oleh
karena itu, Abou El-Fadl memberikan beberapa standart sebagai prasyarat kapada
mereka yang olehnya disebut sebagai “wakil khusus” Tuhan atau disebut juga
sebagai (ahli hukum Islam). Wakil khusus, disyaratkan untuk memiliki standart
dan nilai-nilai otoritatif, seperti kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan,
rasionalitas dan pengendalian diri. Wakil khusus inilah yang mempunyai peranan
penting untuk memutuskan suatu hukum.
Berbeda
dengan wakil khusus, wakil umum disebut oleh Abou El-Fadl sebagai manusia dan
bertaqwa dan sebagai pribadi-pribadi manusia yang shaleh, akan tetapi pada
tataran realitas ia tidak memiliki kemampuan untuk memahami kehendak Tuhan,
sehingga wakil-wakil umum menyerahkan keputusannya kepada wakil khusus yang
oleh Abou El-Fadl disebut sebagai ahli hukum Islam. Dengan demikian, wakil
khusus mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pelimpahan otoritas.
F.
Ruang
Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian
Ruang
lingkupnya studi Khaled Abou El-Fadl adalah menyajikan sebuah kerangka
konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan mengindentifikasi
penyalahgunaan otoritas dalam hukum Islam. Maka kata kunci yang digunakan oleh
Khaled Abou El-Fadl antara lain : teks, makna, otoritas, dan hermeneutik.
G.
Kontribusi
dalam Ilmu-Ilmu Keislaman
Khaled
Abou El-Fadl adalah profesor hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika
Serikat. Lulusan Yale dan Princeton - sebelumnya menggeluti studi keIslaman di
Kuwait dan Mesir – ini piawai menguraikan nilai-nilai Islam klasik dalam
konteks modern. Ia disebut-sebut sebagai “an enlightened paragon of liberal
Islam”, selain penulis prolifik dalam tema universal moralitas dan
kemanusiaan, Abou El-Fadl juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak
Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of
Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika
Serikat.
Saat
ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton,
University of Texas, dan Yale university. Sebagai pakar dan aktivis hukum,
Khaled dikenal sebagai penulis yang prolifik—produktif, antara lain :1). Islam
and the Chelllengge of Democracy (Princeton University Press, 2004), 2). The
Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001), 3). Rebellion
dan Violence in Islamic Law ( Cambridge University, 2001), 4). Speaking
in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman ( Oneworld Publication,
Oxford, 2003) dalam bahasa Indonesia berjudul Atas Nama Tuhan: dari Fikih
Otoriter Ke Fikih Otoritatif (serambi 2004), 5). And God knows the Soldiers:
The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001) dalam
bahasa Indonesia berjudul Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan
Sewenang-wenang Dalam Wacana Islam (Serambi, 2003), 6). Conference of The
Books: The Search for the Beauty in Islam (2001) dalam bahasa Indonesia
berjudul Musyawarah Buku : Menyususri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab
(Serambi, 2002), 7). Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan (Serambi, 2007)
Selain
menulis buku, Khaled memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel
di media massa yang tak terhitung. Produktivitas menulisnya sangat jelas
didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan
kontemporer. Siapapun membaca karya-karya Khaled akan menemukan dan merasakan
adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan khazanah
pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang sering
dikhayalkan banyak orang.
Bukunya
confrence with the Books: The Searching for beauty in Islam misalnya,
mengisahkan dialognya dengan para ulama masa lalu seperti Imam ibnu Hambal,
Al-Jahiz, dan al-Juwainy. Dengan bahasa prosa yang elok, Khaled meratapi betapa
banyak umat Islam yang asing dengan tradisi klasik Islam. Menurutnya, dengan
sikap terbuka dan lapang dada seorang akan menemukan pengkayaan dalam membaca
khazanah klasik Islam. Pada sisi lain, Khaled meratapi hilangnya kebebasan
intelektual di kalangan umat Islam di berbagai wilayah selama berabad-abad.
Sebagai
hasil dari proses perenungan Abou El-Fadl menulis buku yang berjudul The
Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse: A case study (2001)
dalam edisi Indonesia berjudul “Melawan tentara tuhan”: yang berwenang dan
sewenang-wenang dalam wacana Islam (serambi, 2003). Buku ini menggunakan metode
studi kasus yang memfokuskan pembahasan pada fatwa sebuah organisasi Islam
sebagi acuan untuk memunculkan persoalan-persoalan yang lebih luas seputar despotisme
dalam praktik hukum Islam kontemporer.
Sedangkan
dalam buku Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman (
Oneworld Publication, 2003) yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Serambi
dengan judul terjemahan Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter Ke Fikih
Otoritatif, Khaled mengkritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat Islam
yang merasa ‘paling benar’ dalam menafsirkan Teks Suci al-Qur’an dan Hadis.
Mereka, menurut Khaled, seharusnya mengatakan bahwa tafsiran mereka hanya salah
satu dari tafsir atas Kitab Suci selain ribuan tafsir yang berbeda di tengah
umat Islam.
H.
Logika
dan Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan ini dibagi menjadi tujuh bab ditambah dengan sebuah kesimpulan. Bab
pertama, yang diberi judul ‘menyelami persoalan’, memaparkan tema sentral
dan asumsi dasar dalam karya ini, yang tidak memberikan sebuah pendahuluan yang
bersifat formal, tetapi berusaha mengajak atau menggugah pembaca untuk terlibat
secara intelektual dan emosional dengan tema dikaji dalam bukunya. Bab kedua,
berusaha menggali gagasan tentang kekuasaan mutlak Tuhan, peran ketaatan dalam
pembentukan otoritas, dan fungsi para ahli hukum (fuqaha’). Bab ketiga,
sebagai penghormatan bagi siapa yang mungkin tidak tertarik dengan argumen
detail Khaled Abou El-Fadl, dan berfungsi sebagai sebuah peralihan singkat
sebelum memasuki bab keempat dan kelima.
Bab
keempat dan bab kelima berisi kajian tentang
peran teks dalam menentukan makna. Dalam konteks ini mengajukan teori dan
syarat-syarat keberwenangan para ahli hukum Islam, dan proses yang bisa dijadikan
acuan bagi kita untuk melihat bahwa paraahli hukum telah menyalahgunakan
otoritas mereka. Bab keenam dan ketujuh menyajikan studi kasus
seputar proses terbentuknya otoritanisme dalam praktik hukum Islam di dunia
modern. Kebanyakan studi kasus itu berfokus pada fatwa (responsa)
tentang persoalan seputar perempuan. Karena fatwa-fatwa tersebut menggambarkan
dengan jelas kesalahan pemakaian dan penyalahgunaan otoritas Tuhan untuk
memaksakan sistem patriarki yang menyesakkan dada ke dalam masyarakat muslim
kontemporer.
I.
Kesimpulan
Reinterpretasi
tafsir-tafsir hukum Islam penting untuk dilakukan agar terhindar dari
“otoritarianisme interpretasi”. Dalam pandangan Abou El-Fadl, pendekatan
hermeneutika otoritatif mampu menjawab persoalan-persoalan hukum Islam yang
berkembang selama ini yang masih dianggap diskriminatif. Dalam menyingkapi
fenomena di atas, Abou El-Fadl mengusung teori dengan menggunakan pendekatan
hermenetika sebagai pisau analisis. Hermeneutika yang ia kembangkan
berorientasi pada otoritas penafsiran sebuah teks dengan menegosiasikan teks,
pengarang dan pembaca, dan mempertimbangkan kepribadian seorang penafsir
(reader). Kemudian menurut Abou El-Fadl, terdapat tiga pokok persoalan yang
menjadi kunci membuka diskursus yang otoritatif dalam hukum Islam. Pertama,
terkait dengan kompetensi (autentisitas), kedua penetapan makna (isbat
al-ma’na), dan yang ketiga, perwakilan yang dikenal dengan istilah “wakil
khusus” dan “wakil umum”.
Daftar Pustaka
E. Sumaryono, Hermeneutik:
Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 31.
Ilham B. Saenong, Hemeneutika
Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, (Jakarta:
Teraju, 2002), hlm. 33.
Khaled Abou El-Fadl, Atas
Nama Tuhan: Dari Fiqih otoriter ke Fiqih Otoritatif, Alih Bahasa: R. Cecep
Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. ix.
[1]
Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”,
dalam kata pengantar. Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih
Otoriter ke Fikih Otoritatif, Alih Bahasa: R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm. ix.
[2] Ilham B.
Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hasan
Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 33.
[15] Otoritarianisme yaitu penganugerahan otoritas pada yang tidak
otoritatif atau juga bisa disebut sebagai sikap kesewenang-wenangan dalam
diskursus pemikiran hukum Islam, seperti fatwa-fatwa CRLO yang oleh Abou El
Fadl dianggap terjebak pada sikap otoritarianisme yang bias gender (tidak
menjunjung tinggi martabat perempuan), Ibid., hlm. 385-425.
[17] Amin
Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”, dalam
pengantar. Ibid., hlm. xvii.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar